ILMU TAFSIR
AL-QUR’AN
A. Pengertian
Tafsir
Secara etimologi
tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar.
Adapun secara
terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan
lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang
paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan
dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil.
Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman
modern sekarang ini.
Jadi, Secara umum
Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari
ayat-ayat al Qur’an. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, beliau sendiri yang
menjelaskan apa maksud dari ayat Al Qur’an, maka hadis Nabi disebut sebagai
penjelasan dari al Qur’an. Setelah Nabi wafat, para sahabat berusaha
menerangkan maksud al Qur’an bersumber dari pemahaman mereka terhadap
keterangan nabi dan dari suasana kebatinan saat itu. Pada masa dimana generasi sahabat
sudah tidak ada yang hidup, maka pemahaman al Qur’an dilakukan oleh para ulama,
dengan interpretasi. Ketika itulah tafsir tersusun sebagai ilmu.
B. MACAM-MACAM
TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA
Pembagian Tafsir
secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir
bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi
( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari (
bil-isyarah )
- Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )
1. Tafsir
bil-ma’tsur
Adalah penafsiran
Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat,
untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.
Mengenai penafsiran
Al Qur’an dengan perkataan para Shahabat ketahuilah, bahwasanya Tafsir Shahabat
termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para
Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh Rasulullah
saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya
ayat.
Dan juga
dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam
kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan
Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia
yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi
mereka.
Berkata Imam Hakim
Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka)
yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan
Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain,
tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.
2. Tafsir bir-ra’yi
Adalah tafsir yang
dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri.
Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Seiring
perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya
ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan
ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan
ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu
hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain.
Seorang mufassir
akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan
mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Pembagian Tafsir
bir-ra’yi:
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian: - Tafsir
Mahmud
- Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud:
Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh
orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan,
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya
dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
b. Tafsir al
Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti
hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau
syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun
bid’ahnya yang tersesat.
Hukum Tafsir
bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata
tanpa ada dasar yang shahih adalah haram.
3. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi
setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera
mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang
isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh
ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan
Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan
gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
4. Tafsir bil
Izdiwaji ( Campuran )
Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode
campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan
Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat
dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.
C. MACAM-MACAM
TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
1. Metode Tahlili
(Analitik)
Metode Tahlili
adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan
menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh
Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat
dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa
kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan
kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil
syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin
Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk
meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an,
sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa
ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini
menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain
dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya
mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat
mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan
Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat”
generasi berikutnya.
2. Metode Ijmali
(Global)
Metode ini adalah
berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan
makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah
dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan
dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir
ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan
kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang
terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak
dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3. Metode Muqarin
Tafsir ini
menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan
hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan
perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4. Metode Maudhu’i
(Tematik)
Metode ini adalah
metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas
topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan
yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an,
khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam
memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa
Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an
dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau
biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu
at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu
ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam,
ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan
corak sastra budaya kemasyarakatan.
Tafsir berasal
dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan
menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh
Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya,
menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Usaha menafsirkan
Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi
Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32
H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal
banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang
lain
1. Akidah yang
benar. Akidah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya.
Ketika ia mempunyai akidah yang
melenceng, tentu saja ia akan menafsirkan Al-Quran dengan berbagai
penyimpangan, yang nantinya merusak pemahaman akan Al-Quran itu sendiri.
2. Bisa
menguasai hawa nafsu. Tidak jarang hawa nafsu menjadi pemicu pemiliknya untuk
membela kepentingan mazhabnya.
3. Menafsirkan
lebih dahulu Al-Quran dengan Al-Quran.
4. Menafsirkan
Al-Quran dengan Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan
penjelasnya.
5. Menafsirkan Al-Quran dengan pandangan para
sahabat jika tidak didapatkan penafsiran dalam Al-Quran dan sunnah.
6. Menafsirkan
Al-Quran dengan pandangan tabi’in (apabila tidak menemukan penafsiran dalam
Al-Quran, Sunnah maupun dalam panadangan para sahabat)
7. Mempunyai
pengetahuan bahasa Arab.
8. Memliki
pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran,
seperti qiraat, ushul al-tafsir, asbab nuzul, nasikh mansukh ayat, dsb.
9. Pemahaman yang cermat.
Pentingnya
ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam
memahami ayat-ayatnya.
Ilmu Asbabun
Nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan
ulama begitu memperhatikan ilmu tentang Asbabun Nuzul bahkan ada yang
menyusunnya secara khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain Ali Ibnu
al-Madiny guru Imam al-Bukhari r.a.
Kitab yang
terkenal dalam hal ini adalah kitab Asbabun Nuzul karangan al-Wahidy
sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar.
Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab yang lengkap lagi pula
sangat bernilai dengan judul Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul.
Oleh karena
pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan
mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara
ayat Al-Qur’an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin
diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu Asbabun Nuzul. Sebagai contoh firman
Allah SWT:
Dan kepunyaan
Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS.
Al-Baqarah: 115).
Dari ayat
tersebut dapat dipahami bolehnya melakukan shalat menghadap ke selain kiblat.
Pemahaman seperti ini adalah salah, karena menghadap kiblat adalah salah satu
syarat sahnya shalat. Dengan ilmu asbabun nuzul dapatlah dipahami secara jelas,
dimana ayat di atas turun sehubungan dengan kasus seseorang yang ada dalam
perjalanan dan tidak mengetahui kiblat serta arah, karena itu ia boleh
berijtihad untuk memilih arah dan selanjutnya ia melakukan shalat. Ke mana saja
ia menghadap dalam shalatnya maka shahlah shalatnya. Ia tidak harus mengulangi
kembali disaat ia mengetahui arah yang sebenarnya andaikata salah. Dengan
demikian maka ayat di atas tidaklah bersifat umum tetapi bersifat khusus bagi
seseorang yang tidak mengetahui kiblat dan arah.
Diantara
beberapa orang sahabat Rasul bertanya: “Bagaimanakah halnya dengan orang-orang
yang berperang di jalan Allah dan telah meninggal sedang mereka biasa meminum
khamar padahal khamar tersebut adalah keji?”. Sehubungan dengan itu maka
turunlah ayat yang menjelaskan bahwa peminum khamar sebelum diharamkan, Allah
memaafkannya. Ia tidak berdosa dan tidak bersalah karena Allah tidak akan
memberikan hukuman atas perbuatan seorang hamba sebelum Islam atau sebelum
turunnya pengharaman. Karena itu maka ayat tersebut berdasarkan susunannya
dapat dipahami secara tegas terhadap haramnya minuman khamar.
Apa arti
Asbabun Nuzul
Terkadang ada
satu kasus (kejadian). Dari kasus tersebut turun satu atau beberapa ayat yang
berhubungan dengan kasus tersebut, itulah yang disebut dengan Asbabun Nuzul.
Dari segi lain, kadang-kadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi
SAW, dengan maksud minta ketegasan tentang hukum syara’ atau mohon penjelasan
secara terperinci tentang urusan agama, oleh karena itu turun beberaa ayat,
yang demikian juga disebut Asbabun Nuzul.
Contoh
peristiwa yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Khabbab ibnul Arat r.a.
ia berkata: “Saya adalah tukang besi, Saya menghutangkan kepada Ash ibnu Wail.
Suatu ketika saya datang kepadanya untuk menagih piutangku”. Ia menjawab: “Saya
tidak akan membayar hutangku kepadamu sebelum engkau mengkufurkan Muhammad dan
beralih menyembah Lata dan Uzza“. Saya menjawab: “Aku tidak akan
mengkufurkannya sehingga engkau dimatikan Allah dan dibangkitkan kembali”.
Jawab Ash Ibnu Wail: “Kalau begitu kelak aku akan mati dan dibangkitkan
kembali?”. “Tunggu dulu, hari ini juga akan kudatangkan harta dan anak untuk
membayar hutang kepadamu”. Karena kasus ini Allah menurunkan ayat:
Maka apakah
kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat kami dan dia mengatakan
pasti aku akan diberi harta dan anak. Adakah ia melihat yang ghaib atau ia
telah membuat perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah?. Sekali-kali tidak,
Kami akan menulis apa yang ia katakan dan benar-benar Kami akan memperpanjang
adzab untuknya dan kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu, dan ia akan
datang kepada Kami dengan seorang diri. (QS. Maryam: 77-80).
Al-Qur’an
turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul
shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Oleh karena
itu, para ulama rahimahumullaahu membagi Al-Qur’an menjadi dua:
1. Al-Makiyah:
ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum hijrah
ke Madinah.
2.
Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
setelah hijrah ke Madinah.
3), termasuk
ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada
haji wada’ di Arafah.
Disebutkan
dalam Shahih Al-Bukhari dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata:
Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yaitu saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berada di Arafah pada hari Jum’at.
Perbedaan
Surat Makiyah dan Madaniyah dari Sisi Konteks Kalimat dan Tema
• Perbedaan dari segi konteks kalimat:
- Sebagian
besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks
pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah
pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah
surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar.
Sedangkan
sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks
pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah.
Bacalah surat Al-Ma’idah!
Sebagian besar
surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para
Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang
memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan
dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur!
Adapun surat
Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada
perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang
hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).
• Perbedaan dari segi tema:
Sebagian besar
surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya
berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan
karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu.
Sedangkan
sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah
karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah
yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan
mu’amalah.
Dalam ayat
Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan
orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa
tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda
dengan isi ayat Makiyah.
Beberapa
Faedah Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui
surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang
penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
- Bukti
ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla mengajak
bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras
maupun lembut.
- Tampaknya
hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun
secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan
kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
- Pendidikan
terhadap para da’i di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengarahan bagi mereka
agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema
yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan
kelembutan sesuai tempatnya.
- Pembeda
antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya
terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi
syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh
bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah
Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Telah jelas
dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan
bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an dengan cara
tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1. Pengokohan
hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa
Jalla:
وَقَالَ الَّذِيْنَ
كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ
لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ
بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa
Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah
(yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang
kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami
datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS.
Al-Furqaan: 32-33)
2. Memberi
kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta
mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap.
3. Memberikan
semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam
Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi
ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam ayat-ayat Ifk dan Li’an.
4. Penetapan
syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang
terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr
dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan
secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah
firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka
1.Kata nasakh
ndiambilkan dari bahasa arab yang berarti menghapus/mengganti sedangkan menurut
istilah mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian.
Menurut imam Syafi’i, nasakh bukan berarti membatalkan suatu nash, akan tetapi
masa berlakunya hukum yang terkandung dalam nash tersebut sudah habis.
2.Kata Mansukh
juga diambilkan dari bahasa arab yang berarti diganti/ maksud disini adalah
suatu nash yang diganti dengan nash yang turun kemudian.
3.Al-Quran
adalah kalamullah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada nabi terakhir
yaitu Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril AS yang tercatat di dalam
mushhaf yang ndinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya sebagai
ibadah, dengan berbahasa arab serta dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Nas.
4.Waktu
periode tasyri’ artinya bahwa metode nasakh dan mansukh muncul ketika masa
pensyariatan. Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu “ayat” dan
“ahkam”, ayaat adalah bentuk jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti
tanda. Kata ayat kadang juga diartikan dengan pengajaran, urusan yang
mengherankan dan sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud “ayat” dalam hal ini
adalah ayat-ayat Al-Qur’an yaitu bagian tertentu dari Al-Qur’an yang tersusun
atas satu atau beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan)
sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat
mandiri dalam sebuah surat.[2]
Sementara
istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk
jamaknya adalah al-ahkam. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di
atas sesuatu (itsbat asy-syai ‘ala syai), atau bisa juga diartikan dengan
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adapaun hukum yang dipahami oleh ahli ushul
fiqh adalah :
خطاب الله المتعلق
بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا
“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan
perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi
tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah,
untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Abdul
Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum
mengganti kalimat خطاب الله تعالى (tuntutan Allah ta’ala) dalam definisi di
atas dengan خطاب الشرع (tuntutan syar’i), dengan tujuan agar hukum itu bukan
saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya
dan melalui ijma’ para ulama.
Menurut ulama
fiqh, hukm adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i
berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu,
menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh). Akan
tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syar’i
itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah.
Dari
pengertian mengenai ayat-ayat hukum sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ayat
hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan khitab
(titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan
dan atau meninggalkan sesuatu). Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat
hukum adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah-masalah hukum.
Dari sini
dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat
hukum) adalah tafsir Al-Qur’an yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat
hukum.[3] Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai
ciri khas dari tafsir ahkam dengan metode tafsir lainnya.
Metode tafsir
kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem
kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul
dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan
problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya.
Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah
Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik,
Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang
lain[4]. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian
di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer[5].
Bila tidak
dipahami dengan cermat, definisi di atas, akan menyesatkan banyak orang sebab
akan terkesan bahwa Al Qur`an harus mengikuti perkembangan zaman, sebuah
statemen yang tidak bolleh diucapkan oleh siapapun. Secara terperinci maksud
dari tafsir modern adalah; merekonstruksi kembali produ-produk tafsir klasik
yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern[6].
KEMUNCULAN
TAFSIR MODERN KONTEMPORER
Abad ke- 19
atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai
bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya tafsir
yang terlahir dari ulama Islam di abad itu.[7]
Kajian tentang
Al Qur`an dalam khazanah intelektual
Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab
masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out
date [8]. Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh
kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan
secara tekstual, dengan mengabaikan situasi
dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang
penting[9]. Shah waliyullah ( 1701-1762 ) seorang pembaharu islam dari Delhi, merupakan orang yang berjasa dalam memprakarsai
penulisan tafsir “MODERN” , dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al
balighah dan Ta`wil al Hadits fi rumuz
Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran mosern. Tidak
sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal
serupa , maka di Mesir, munculah tafsir Mohammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad
Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain.
Di belahan
Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws,
dan sederetan tokoh lainnya[10]. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull
( w. 1978 ), Hasan Hanafi ( wafat . Bita
Shathi ( w. 2000 ), Nasr Abu Zayd ( lahir. 1942 ), Muhammad Shahrur, dan Fazlur
Rahman[11]
CORAK MODERN
KONTEMPORER
Survei yang
dilakukan Jansen terhadap corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada
tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan
tafsir Adabi Ijtima`i[12]
Tafsir `lmi
Setiap muslim
mempercayai bahwa al qur`an mampu mengantisipasi pengetahuan modern. Al Gazali
mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran
diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya
berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti
terjadi. Mengingat al qur`an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak
terlupakan di dalamnya “ tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ( Qs. Al An`am (6) : 38 ).[13]”
Pokok
pemikiran tafsir Ilmi bisa dilacak pada tokoh semisal Mohammad Abduh, Al
Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id Huwa, Dan lain-lain. Bahkan secara vocal Abduh
mengisyaratkan bahwa penemuan Telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah
tercantum dalam al qur`an.
1. Madrasah tafsir filologi
Amin AL Khulli
telah berjasa dalam memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistrematis,
ada tiga kerangka yang ia lakukan; Pertama, seoraong mufassir harus mampu
mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa. Kedua,
mempelajari setiap makna kata dlam al qur`an yang tidak htanya menggunakan
kamus saja, tetap yang juga dengan kata-kata al qur`an sendiri yang memiliki
akar kata serupa. Ketiga, analis terhadap bagaimana al qur`an mengombinasikan
kata-kata dalam sebuah kalimat. Akan tetapi Amin al Khulli tidak mencoba
sendiri menerapkan pemikirannya itu kedalam bentuk penafsiran al qur`an.
Istrinyalah, yakni Bint Syathi, yang merealisasikan gagasn-gagasannya dalam
bentuk penafsiran . Asy Syathi membuktikan dirinya sebagai mufassir yang
kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya yang berjudul tafsir al
Bayan.
2. Madrasah adabi ijtima`i
Tafsir adabbi
ijtima`i muncul untuk “ menggugat capaian-capaian tafsir klasik yang dianggap
kurang mengakar pada persoalan-persoalan masyarakat. Oleh karena itu,
diskursus-diskursus yang mencuat dari madrasah ini adalah kritikan tajam
terhadap tafsir tafsir klasik. Bagi para mufassir madrasah ini, alqur` an baru
dapat dikatakan sebagai hudan li an-nas bila telah dirasakan menjadi problem
solver bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bentuk –bentuk penafsiran yang
sifatnya tidak membumi tentu saja tidak mendapat tempat pada madrasah ini,.
Pokok-pokok pemikiran di atas terliahat jelas pada pendapat Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha, Al Maraghi, dan Sayyid Quthb.
Abduh menolak
tradisi penafsiran klasik yang menggunakan Israiliyat ( legenda-legenda Yahudi
dan Nasrani ) untuk menfsirkan al qur`an, yang dianggapnya mengda-ngada dan
mendistorsi tujuan Al Qur`an, yang sebenarnya. Apa yang tidak dijelaskan
sendiri. Menurutnya, mengandung isyarat bahwa itu tidak penting untuk
dijelaskan lebih lanjut. Lebih-lebih dengan menggunakan riwayat-riwayat
Israiliyyat[14]
METODE MODERN
KONTEMPORER
Dalam
melakukan penafsiran al qur`an, seorang Mufasssir biasanya merujuk kepada
tradisi ulama salaf, namun tidakjarang yang merujuk pada temuan ulama
kontemporer.
Adapun tafsir
yang mrujuk ulama salaf adalah. (1). Tafsir berdasarkan riwayah, yang biasa
disebut al tafsir bi al ma`tsur, (2).. Tafsir yng berdasarkan dirayah, yang
dikenal dengan al tafsir bi al ra`y atau bi al ajtihadi, dan (3). Tafsir yang
berdasarkan isyarat yang popular dengan nama al tafsir al Isyri[15].
Pada perkembangan
dewasa ini, yang merujuk pada temuan ulam kontemporer, yang dianut sebagian
pakar al qur`an misalnyaal Farmawi (di Indonesia ) yang dipopulerkan oleh M.
Quraish Shihab dalam berbagai tulisanya –adalah pemilahan metode tafsir al
qur`an kepada empat metode (1). Ijmali (
Global ) (2). Tahlili ( Analis ) (3). Muqarin ( Perbandingan ) (4). Maudlu`i (
Tematik ). Metode tafsir bedasarkan riwayah, dirayah, dan Isyra`I,
dikategorikan dalam metode klasik, sedangkan empat metode yang berupa Ijmali,
Tahlili, Muqarin, dan Maudlu`I, ditambah satu metode lagi, yaitu metode
kontekstual ( menafsirkan al qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang
sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku
dan berkembang dalam masyarakat Arab
sebelum dan sesudah turunnya al qur`an ) termasuk dalam kategori tafsir
kontemporer.
Adanya
pengklasifikasian metode tafsir ini tentunya tidak dimaksudkan untuk
mendekonstuksi atas yang favorit dan yang tidak favorit, tapi lebih titunjukan
untuk mempermudah penelusuran sejarah metode tersebut, dan untuk melengkapi
satu sama lainnya[16].
Koridor Penafsiran Klasik
Seperti yang telah dimaklumi,
semenjak wafatnya beliau Nabi e para sahabat dan generasi-generasi berikutnya
sangat tertuntut untuk dapat mengapresiasikan dan membiaskan pesan-pesan
subtansial alqur'an untuk kemaslahatan kehidupan umat yang serba majmuk dengan
mengambil al-qur'an dan hadist sebagai sumber rujukan utamanya. Namun dengan
semakin kompleknya kasus-kasus baru dan maksud-maksud al-qur'an yang belum
pernah dijelaskan oleh nabi, pada giliran berikutnya mereka melakukan
pendekatan dalam memahami al-qur'an melalui kemampuan ijtihad masing-masing.
Secara garis besar terdapat dua pola pendekatan yang mereka upayakan, yaitu,
tafsir dan ta'wil
Tafsir dari sudut etimologi adalah
penyingkapan, penjelasan atau presentasi. Secara terminologinya adalah upaya
menguak pesan subtansial, posisi/kedudukan serta nilai-nilai historis yang
tersembunyi di balik teks.
Ta'wil adalah pengalihan arti
leksikal kata pada kemungkinan makna lain yang masih dalam batas-batas
al-qur'an dan sunnah
Perangkat Keilmuan Yang Harus
Dimiliki Mufassir
Para ulama' telah memberikan
syarat-syarat tertentu bagi orang yang akan menafsirkan al-qur'an dengan Ra'yi
agar hasil ijtihad penafsirannya dapat diterima dan dipakai. Adapun
syarat-syarat tersebut sebanyak 15 persyaratan, yaitu :
1. Ilmu bahasa, dengan ilmu ini
dapat memungkinkan untuk mengetahui pengertian kosa kata kalimat sesuai dengan
arti kata dasarnya.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa arab),
Karena dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan-perubahan makna sebab
perubahan I'rab
3. Ilmu shorof, yang dengannya
dapat diketahui bina', shighat dari suatu lafadz, sebab dengan perbedaan
keduanya akan berpengaruh pada arti yang dikandungnya
4. Ilmu asal-usul kata, suatu kata
benda yang berasal dari dua akar kata yang berbeda, maka artinyapun akan
berbeda. Seperti al-masih yang bisa berasal dari akar kata as-siyahah atau
al-mashu .
5. Ilmu Ma'ani, adalah ilmu yang
memiliki fungsi untuk mengetahui kalimat dari sudut faidah maknanya.
6. Ilmu Bayan, adalah ilmu untuk
mengetahui kalimat dari segi jelas atau kesamaran penunjukan jkandungan
artinya.
7. Ilmu Badi' , adalah ilmu untuk
mengetahui bentuk keindahan kalimat
8. Ilmu Qiro`ah, dengan ilmu ini dapat
diketahui bentuk pengertian yang lebih benar
9. Ushul Fiqh, ilmu ini sebagi
perangkat untuk mengetahui cara-cara pengambilan hukum
10. Ushul ad-dîn, dengan ilmu ini
mufassir akan mampu menunjukkan dalil-dalil dari sifat-sifat Allah I.
11. Asbâb an-Nuzûl :
Al-Ja’bari, sebagaimana dikutip
oleh Al-Suyûthi menyatakan bahwa penurunan wahyu adakalanya tanpa
dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, adakalanya pula dilatarbelakagi oleh
timbulnya suatu peristiwa atau pertanyaan yang diajukan oleh shahabat. Dalam kaitannya
dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, pengetahuan akan sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl) memegang peranan penting.
Beberapa ayat tidak dapat dipahami maksud sebenarnya tanpa mengetahui asbâb
al-nuzûlnya.
Al-Zarqânî memberikan pendefinisian
asbâb al-nuzûl sebagai hal-hal yang diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh
suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut diturunkan. Maksudnya
adalah bahwa asbâb al-nuzûl merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah
atau merupakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kalangan shahabat dan
menjadi perhatian khusus Rasulullah.
Dengan mengetahui asbâb al-nuzûl
ada beberapa manfaat yang didapatkan. Secara terperinci Al-Suyûthî dan
az-Zarqânî menuturkan dalam karyanya masing-masing. Pertama, mengetahui hikmah
pensyari’atan suatu hukum. Kedua, membantu pemahaman makna suatu ayat serta
menjelaskan isykâl (kejanggalan atau kesulitan makna)nya.
Ayat di atas menegaskan bahwa
seseorang tidak wajib menghadap kiblat ketika melakukan shalat, dalam
perjalanan maupun tidak. Namun hal ini menyalahi ijma’ . Dengan mengetahui
sebab turunnya ayat akan diketahui bahwa ayat tersebut hanya tertentu pada
shalat sunnat dalam perjalanan. Atau dalam kasus seseorang yang buta arah sehingga
ia menentukan arah kiblat dengan ijtihad (upaya dan kemantapan hati)nya
sendiri, dan ternyata pilihannya salah. Maka ia tidak wajib meng-qadlâ’.
Ketiga, menepis persangkaan hashr
(ketertentuan pada suatu hal semata).
Al-Syâfi‘î mengatakan bahwa ketika orang-orang
kafir menganggap haram apa yang dihalalkan Allah I, menganggap halal apa yang
diharamkan Allah I, dan selalu berseberangan dan bertentangan dengan
syari’at-Nya, maka turunlah ayat ini dengan tujuan menentang kehendak mereka.
Seakan-akan Allah I berfirman : “Tidak ada keharaman kecuali apa yang kalian
halalkan, yakni bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan makanan yang
dibuat persembahan kepada selain Allah”. Dengan ayat ini tidaklah dimaksudkan
kehalalan dari selain hal-hal yang dituturkan. Karena tujuan ayat ini hanya
menetapkan keharaman, bukan menetapkan kehalalan.
Keempat, mentakhshîsh hukum dengan
asbâb al-nuzûl ayat, menurut orang-orang yang memiliki pandangan bahwa yang
dijadikan standar hukum adalah khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang
turunnya ayat), bukan ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat). Kelima,
Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman
hukumnya walaupun ada keterangan yang mentakhshîsh keumuman ayat. Sehingga
tatkala sebab turunnya ayat diketahui, maka takhshîsh hanya berlaku pada selain
kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat. Karena tercakupnya kasus ketika ayat
turun dalam keumuman redaksi lafazh merupakan sesuatu yang qath’i (pasti), dan
mengeluarkannya dari cakupan keumuman berdasarkan ijtihad adalah tidak
diperbolehkan. Keenam, mengetahui perihal apa dan tentang siapa ayat
diturunkan. Ketujuh, secara psikologis, dapat me-mudahkan penghafalan dan
menancapkan kefahaman bagi orang yang mendengarkan ayat sekaligus mengetahui latar
belakang turunnya. Karena sabab dan hukum terkait dengan peristiwa yang
melatarbelakanginya. Sedangkan suatu peristiwa terkait dengan tokoh pelaku,
dimensi ruang dan waktunya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor kuatnya ingatan,
serta kemudahan mengingatnya saat mengingat kaitan peristiwanya.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan
asbâb al-nuzûl, ulama’ ushul fiqh berbeda pandangan mengenai apakah yang
dijadikan patokan adalah ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat) atau
khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat) ? Kalangan
al-Syafi’iyyah memilih pendapat pertama. Mereka berpijak pada sikap para
shahabat dan lainnya dalam keumuman redaksi ayat yang turun karena sebab
tertentu. Sebagaimana ayat zhihâr yang dilatarbelakangi oleh kasus yang dialami
Salmah bin Shakhr, ayat li‘ân yang turun dengan tokoh peristiwa Hilâl bin
Umayyah, dan ayat yang menjelaskan sanksi qadzf pada orang-orang yang menuduh
Umm al-mu’minin ‘Aisyah ra. Dampak hukum ayat-ayat ini melebar cakupannya pada
selain tokoh-tokoh peristiwa turunnya ayat-ayat di atas.
Dalam catatan pinggir Al-Luma‘
dipaparkan bahwa argumentasi yang melandasi pendapat ini adalah sebuah hadits
yang mengisahkan bahwa Rasulullah menerapkan suatu ayat sebagai hujjah dalam
keumuman redaksinya, kendati ayat tersebut diturunkan dengan sebab dan tujuan
tertentu.
Dari riwayat ini, Rasulullah
menjadikan khithâb pada ayat di atas tidak sebagaimana konteks dan maksud
diturunkannya ayat tersebut. Karenanya, sebagaimana yang menjadi pegangan
mayoritas ulama', yang dijadikan patokan utama dalam menyikapi nash-nash
Al-Qur'an atau hadits adalah keumuman teks, bukan kekhususan konteksnya
12. Nasikh dan Mansukh
Dalam kaitannya dengan pembahasan
Al-Qur’an, permasalahan naskh (penyalinan hukum) tidaklah dapat diabaikan.
Karena sebagai sumber hukum primer, Al-Qur’an haruslah menjadi rujukan utama
dan pertama dalam penetapan hukum syari’at. Ketika suatu ayat Al-Qur’an disalin
atau diganti hukumnya dengan ayat lain, maka keterkaitan ayat yang mansûkh
(disalin hukumnya) tersebut dengan perbuatan mukallaf (pengemban beban
syari’at) menjadi terputus dan tidak efektif lagi. Karenanya, dalam melakukan
istinbâth (penggalian hukum dari nash-nash Al-Qur’an dan al-sunnah), seorang
mujtahid harus memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat mansûkh berikut
dalil yang menyalin (nâsikh)nya
13. Al-Fiqh
14. Ilmu Hadits, yang berguna
menjelaskan sesuatu ayat yang mubham dan mujmal
15. Ilmu Mauhibah, yaitu Ilmu
dianugerahkan Allah I untuk hambanya yang mengamalkan ilmunya.
Ibnu Abi Dunya berkomentar bahwa
lima belas pengetahuan di atas laksana perangkat atau petunjuk bagi mufassir,
tanpa penguasaannya ia tidak akan mampu mendapat gelar mufassir yang diakui
tapi malah akan masuk dalam golongan mufassir bi ar-ra`yi yang sesat.
Dalam kitab al-Burhan disebutkan
"cinta dunia, sifat takabbur, perbuatan bid'ah, dosa, lemahnya iman,
mendewakan akalnya, logika yang tak berdasar kesemuanya merupakan hijab
(penghalang) dari memahami wahyu Ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar