Pages

07/03/15

Makalah Ilmu Tafsir



ILMU TAFSIR AL-QUR’AN

A. Pengertian Tafsir
Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar.
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.
Jadi, Secara umum Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al Qur’an. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, beliau sendiri yang menjelaskan apa maksud dari ayat Al Qur’an, maka hadis Nabi disebut sebagai penjelasan dari al Qur’an. Setelah Nabi wafat, para sahabat berusaha menerangkan maksud al Qur’an bersumber dari pemahaman mereka terhadap keterangan nabi dan dari suasana kebatinan saat itu. Pada masa dimana generasi sahabat sudah tidak ada yang hidup, maka pemahaman al Qur’an dilakukan oleh para ulama, dengan interpretasi. Ketika itulah tafsir tersusun sebagai ilmu.
B. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA
Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari ( bil-isyarah )
 - Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )
1. Tafsir bil-ma’tsur
Adalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.
Mengenai penafsiran Al Qur’an dengan perkataan para Shahabat ketahuilah, bahwasanya Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat.
Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka.
Berkata Imam Hakim Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka) yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.
2. Tafsir bir-ra’yi
Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain.
Seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Pembagian Tafsir bir-ra’yi:
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian: - Tafsir Mahmud
- Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram.
3. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran )
 Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.
C. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
1. Metode Tahlili (Analitik)
Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
2. Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3. Metode Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain
1. Akidah yang benar. Akidah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia mempunyai  akidah yang melenceng, tentu saja ia akan menafsirkan Al-Quran dengan berbagai penyimpangan, yang nantinya merusak pemahaman akan Al-Quran itu sendiri.
2. Bisa menguasai hawa nafsu. Tidak jarang hawa nafsu menjadi pemicu pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya.
3. Menafsirkan lebih dahulu Al-Quran dengan Al-Quran.
4. Menafsirkan Al-Quran dengan Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya.
5.  Menafsirkan Al-Quran dengan pandangan para sahabat jika tidak didapatkan penafsiran dalam Al-Quran dan sunnah.
6. Menafsirkan Al-Quran dengan pandangan tabi’in (apabila tidak menemukan penafsiran dalam Al-Quran, Sunnah maupun dalam panadangan para sahabat)
7. Mempunyai pengetahuan bahasa Arab.
8. Memliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran, seperti qiraat, ushul al-tafsir, asbab nuzul, nasikh mansukh ayat, dsb.
9.  Pemahaman yang cermat.
Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya.
Ilmu Asbabun Nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang Asbabun Nuzul bahkan ada yang menyusunnya secara khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain Ali Ibnu al-Madiny guru Imam al-Bukhari r.a.
Kitab yang terkenal dalam hal ini adalah kitab Asbabun Nuzul karangan al-Wahidy sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab yang lengkap lagi pula sangat bernilai dengan judul Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul.
Oleh karena pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat Al-Qur’an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu Asbabun Nuzul. Sebagai contoh firman Allah SWT:
Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 115).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bolehnya melakukan shalat menghadap ke selain kiblat. Pemahaman seperti ini adalah salah, karena menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya shalat. Dengan ilmu asbabun nuzul dapatlah dipahami secara jelas, dimana ayat di atas turun sehubungan dengan kasus seseorang yang ada dalam perjalanan dan tidak mengetahui kiblat serta arah, karena itu ia boleh berijtihad untuk memilih arah dan selanjutnya ia melakukan shalat. Ke mana saja ia menghadap dalam shalatnya maka shahlah shalatnya. Ia tidak harus mengulangi kembali disaat ia mengetahui arah yang sebenarnya andaikata salah. Dengan demikian maka ayat di atas tidaklah bersifat umum tetapi bersifat khusus bagi seseorang yang tidak mengetahui kiblat dan arah.
Diantara beberapa orang sahabat Rasul bertanya: “Bagaimanakah halnya dengan orang-orang yang berperang di jalan Allah dan telah meninggal sedang mereka biasa meminum khamar padahal khamar tersebut adalah keji?”. Sehubungan dengan itu maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa peminum khamar sebelum diharamkan, Allah memaafkannya. Ia tidak berdosa dan tidak bersalah karena Allah tidak akan memberikan hukuman atas perbuatan seorang hamba sebelum Islam atau sebelum turunnya pengharaman. Karena itu maka ayat tersebut berdasarkan susunannya dapat dipahami secara tegas terhadap haramnya minuman khamar.
Apa arti Asbabun Nuzul
Terkadang ada satu kasus (kejadian). Dari kasus tersebut turun satu atau beberapa ayat yang berhubungan dengan kasus tersebut, itulah yang disebut dengan Asbabun Nuzul. Dari segi lain, kadang-kadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi SAW, dengan maksud minta ketegasan tentang hukum syara’ atau mohon penjelasan secara terperinci tentang urusan agama, oleh karena itu turun beberaa ayat, yang demikian juga disebut Asbabun Nuzul.
Contoh peristiwa yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Khabbab ibnul Arat r.a. ia berkata: “Saya adalah tukang besi, Saya menghutangkan kepada Ash ibnu Wail. Suatu ketika saya datang kepadanya untuk menagih piutangku”. Ia menjawab: “Saya tidak akan membayar hutangku kepadamu sebelum engkau mengkufurkan Muhammad dan beralih menyembah Lata dan Uzza“. Saya menjawab: “Aku tidak akan mengkufurkannya sehingga engkau dimatikan Allah dan dibangkitkan kembali”. Jawab Ash Ibnu Wail: “Kalau begitu kelak aku akan mati dan dibangkitkan kembali?”. “Tunggu dulu, hari ini juga akan kudatangkan harta dan anak untuk membayar hutang kepadamu”. Karena kasus ini Allah menurunkan ayat:
Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat kami dan dia mengatakan pasti aku akan diberi harta dan anak. Adakah ia melihat yang ghaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah?. Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan dan benar-benar Kami akan memperpanjang adzab untuknya dan kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu, dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (QS. Maryam: 77-80).
Al-Qur’an turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Oleh karena itu, para ulama rahimahumullaahu membagi Al-Qur’an menjadi dua:
1. Al-Makiyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum hijrah ke Madinah.
2. Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah ke Madinah.
3), termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’ di Arafah.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yaitu saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di Arafah pada hari Jum’at.
Perbedaan Surat Makiyah dan Madaniyah dari Sisi Konteks Kalimat dan Tema
 • Perbedaan dari segi konteks kalimat:
- Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar.
Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!
Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur!
Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).
 • Perbedaan dari segi tema:
Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu.
Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
Beberapa Faedah Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
- Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
- Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
- Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
- Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Telah jelas dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1. Pengokohan hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا‎ ‎لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ‏‎ ‎الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً‏‎ ‎كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ‏‎ ‎فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ‏‎ ‎تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ‏‎ ‎بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ‏‎ ‎بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا

Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33)
2. Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap.
3. Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam ayat-ayat Ifk dan Li’an.
4. Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka
1.Kata nasakh ndiambilkan dari bahasa arab yang berarti menghapus/mengganti sedangkan menurut istilah mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian. Menurut imam Syafi’i, nasakh bukan berarti membatalkan suatu nash, akan tetapi masa berlakunya hukum yang terkandung dalam nash tersebut sudah habis.
2.Kata Mansukh juga diambilkan dari bahasa arab yang berarti diganti/ maksud disini adalah suatu nash yang diganti dengan nash yang turun kemudian.
3.Al-Quran adalah kalamullah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada nabi terakhir yaitu Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril AS yang tercatat di dalam mushhaf yang ndinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya sebagai ibadah, dengan berbahasa arab serta dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
4.Waktu periode tasyri’ artinya bahwa metode nasakh dan mansukh muncul ketika masa pensyariatan. Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu “ayat” dan “ahkam”, ayaat adalah bentuk jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti tanda. Kata ayat kadang juga diartikan dengan pengajaran, urusan yang mengherankan dan sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud “ayat” dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yaitu bagian tertentu dari Al-Qur’an yang tersusun atas satu atau beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan) sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam sebuah surat.[2] 
Sementara istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk jamaknya adalah al-ahkam. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu (itsbat asy-syai ‘ala syai), atau bisa juga diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adapaun hukum yang dipahami oleh ahli ushul fiqh adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا
Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum mengganti kalimat خطاب الله تعالى (tuntutan Allah ta’ala) dalam definisi di atas dengan خطاب الشرع (tuntutan syar’i), dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama.
Menurut ulama fiqh, hukm adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh). Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah.
Dari pengertian mengenai ayat-ayat hukum sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ayat hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu). Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah-masalah hukum. 
Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat hukum) adalah tafsir Al-Qur’an yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat hukum.[3] Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai ciri khas dari tafsir ahkam dengan metode tafsir lainnya.  
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain[4]. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer[5].
Bila tidak dipahami dengan cermat, definisi di atas, akan menyesatkan banyak orang sebab akan terkesan bahwa Al Qur`an harus mengikuti perkembangan zaman, sebuah statemen yang tidak bolleh diucapkan oleh siapapun. Secara terperinci maksud dari tafsir modern adalah; merekonstruksi kembali produ-produk tafsir klasik yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern[6].

KEMUNCULAN TAFSIR MODERN KONTEMPORER
Abad ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu.[7]
Kajian tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual  Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out date [8]. Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi  dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting[9]. Shah waliyullah ( 1701-1762 ) seorang  pembaharu islam dari Delhi, merupakan  orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “MODERN” , dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits  fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran mosern. Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa , maka di Mesir, munculah tafsir Mohammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain.
Di belahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya[10]. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull ( w. 1978 ), Hasan Hanafi ( wafat .  Bita Shathi ( w. 2000 ), Nasr Abu Zayd ( lahir. 1942 ), Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman[11]
CORAK MODERN KONTEMPORER
Survei yang dilakukan Jansen terhadap corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Adabi Ijtima`i[12]
Tafsir `lmi
Setiap muslim mempercayai bahwa al qur`an mampu mengantisipasi pengetahuan modern. Al Gazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti terjadi. Mengingat al qur`an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak terlupakan di dalamnya “ tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ( Qs. Al An`am (6) : 38 ).[13]”
Pokok pemikiran tafsir Ilmi bisa dilacak pada tokoh semisal Mohammad Abduh, Al Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id Huwa, Dan lain-lain. Bahkan secara vocal Abduh mengisyaratkan bahwa penemuan Telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah tercantum dalam al qur`an.
1.   Madrasah tafsir filologi
Amin AL Khulli telah berjasa dalam memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistrematis, ada tiga kerangka yang ia lakukan; Pertama, seoraong mufassir harus mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa. Kedua, mempelajari setiap makna kata dlam al qur`an yang tidak htanya menggunakan kamus saja, tetap yang juga dengan kata-kata al qur`an sendiri yang memiliki akar kata serupa. Ketiga, analis terhadap bagaimana al qur`an mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat. Akan tetapi Amin al Khulli tidak mencoba sendiri menerapkan pemikirannya itu kedalam bentuk penafsiran al qur`an. Istrinyalah, yakni Bint Syathi, yang merealisasikan gagasn-gagasannya dalam bentuk penafsiran . Asy Syathi membuktikan dirinya sebagai mufassir yang kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya yang berjudul tafsir al Bayan.
2.   Madrasah adabi ijtima`i
Tafsir adabbi ijtima`i muncul untuk “ menggugat capaian-capaian tafsir klasik yang dianggap kurang mengakar pada persoalan-persoalan masyarakat. Oleh karena itu, diskursus-diskursus yang mencuat dari madrasah ini adalah kritikan tajam terhadap tafsir tafsir klasik. Bagi para mufassir madrasah ini, alqur` an baru dapat dikatakan sebagai hudan li an-nas bila telah dirasakan menjadi problem solver bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bentuk –bentuk penafsiran yang sifatnya tidak membumi tentu saja tidak mendapat tempat pada madrasah ini,. Pokok-pokok pemikiran di atas terliahat jelas pada pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al Maraghi, dan Sayyid Quthb.
Abduh menolak tradisi penafsiran klasik yang menggunakan Israiliyat ( legenda-legenda Yahudi dan Nasrani ) untuk menfsirkan al qur`an, yang dianggapnya mengda-ngada dan mendistorsi tujuan Al Qur`an, yang sebenarnya. Apa yang tidak dijelaskan sendiri. Menurutnya, mengandung isyarat bahwa itu tidak penting untuk dijelaskan lebih lanjut. Lebih-lebih dengan menggunakan riwayat-riwayat Israiliyyat[14]
METODE MODERN KONTEMPORER
Dalam melakukan penafsiran al qur`an, seorang Mufasssir biasanya merujuk kepada tradisi ulama salaf, namun tidakjarang yang merujuk pada temuan ulama kontemporer.
Adapun tafsir yang mrujuk ulama salaf adalah. (1). Tafsir berdasarkan riwayah, yang biasa disebut al tafsir bi al ma`tsur, (2).. Tafsir yng berdasarkan dirayah, yang dikenal dengan al tafsir bi al ra`y atau bi al ajtihadi, dan (3). Tafsir yang berdasarkan isyarat yang popular dengan nama al tafsir al Isyri[15].
Pada perkembangan dewasa ini, yang merujuk pada temuan ulam kontemporer, yang dianut sebagian pakar al qur`an misalnyaal Farmawi (di Indonesia ) yang dipopulerkan oleh M. Quraish Shihab dalam berbagai tulisanya –adalah pemilahan metode tafsir al qur`an  kepada empat metode (1). Ijmali ( Global ) (2). Tahlili ( Analis ) (3). Muqarin ( Perbandingan ) (4). Maudlu`i ( Tematik ). Metode tafsir bedasarkan riwayah, dirayah, dan Isyra`I, dikategorikan dalam metode klasik, sedangkan empat metode yang berupa Ijmali, Tahlili, Muqarin, dan Maudlu`I, ditambah satu metode lagi, yaitu metode kontekstual ( menafsirkan al qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan  berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya al qur`an ) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.
Adanya pengklasifikasian metode tafsir ini tentunya tidak dimaksudkan untuk mendekonstuksi atas yang favorit dan yang tidak favorit, tapi lebih titunjukan untuk mempermudah penelusuran sejarah metode tersebut, dan untuk melengkapi satu sama lainnya[16].
Koridor Penafsiran Klasik
Seperti yang telah dimaklumi, semenjak wafatnya beliau Nabi e para sahabat dan generasi-generasi berikutnya sangat tertuntut untuk dapat mengapresiasikan dan membiaskan pesan-pesan subtansial alqur'an untuk kemaslahatan kehidupan umat yang serba majmuk dengan mengambil al-qur'an dan hadist sebagai sumber rujukan utamanya. Namun dengan semakin kompleknya kasus-kasus baru dan maksud-maksud al-qur'an yang belum pernah dijelaskan oleh nabi, pada giliran berikutnya mereka melakukan pendekatan dalam memahami al-qur'an melalui kemampuan ijtihad masing-masing. Secara garis besar terdapat dua pola pendekatan yang mereka upayakan, yaitu, tafsir dan ta'wil
Tafsir dari sudut etimologi adalah penyingkapan, penjelasan atau presentasi. Secara terminologinya adalah upaya menguak pesan subtansial, posisi/kedudukan serta nilai-nilai historis yang tersembunyi di balik teks.
Ta'wil adalah pengalihan arti leksikal kata pada kemungkinan makna lain yang masih dalam batas-batas al-qur'an dan sunnah
Perangkat Keilmuan Yang Harus Dimiliki Mufassir
Para ulama' telah memberikan syarat-syarat tertentu bagi orang yang akan menafsirkan al-qur'an dengan Ra'yi agar hasil ijtihad penafsirannya dapat diterima dan dipakai. Adapun syarat-syarat tersebut sebanyak 15 persyaratan, yaitu :
1. Ilmu bahasa, dengan ilmu ini dapat memungkinkan untuk mengetahui pengertian kosa kata kalimat sesuai dengan arti kata dasarnya.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa arab), Karena dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan-perubahan makna sebab perubahan I'rab
3. Ilmu shorof, yang dengannya dapat diketahui bina', shighat dari suatu lafadz, sebab dengan perbedaan keduanya akan berpengaruh pada arti yang dikandungnya
4. Ilmu asal-usul kata, suatu kata benda yang berasal dari dua akar kata yang berbeda, maka artinyapun akan berbeda. Seperti al-masih yang bisa berasal dari akar kata as-siyahah atau al-mashu .
5. Ilmu Ma'ani, adalah ilmu yang memiliki fungsi untuk mengetahui kalimat dari sudut faidah maknanya.
6. Ilmu Bayan, adalah ilmu untuk mengetahui kalimat dari segi jelas atau kesamaran penunjukan jkandungan artinya.
7. Ilmu Badi' , adalah ilmu untuk mengetahui bentuk keindahan kalimat
8. Ilmu Qiro`ah, dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk pengertian yang lebih benar
9. Ushul Fiqh, ilmu ini sebagi perangkat untuk mengetahui cara-cara pengambilan hukum
10. Ushul ad-dîn, dengan ilmu ini mufassir akan mampu menunjukkan dalil-dalil dari sifat-sifat Allah I.
11. Asbâb an-Nuzûl :
Al-Ja’bari, sebagaimana dikutip oleh Al-Suyûthi menyatakan bahwa penurunan wahyu adakalanya tanpa dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, adakalanya pula dilatarbelakagi oleh timbulnya suatu peristiwa atau pertanyaan yang diajukan oleh shahabat. Dalam kaitannya dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, pengetahuan akan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl) memegang peranan penting. Beberapa ayat tidak dapat dipahami maksud sebenarnya tanpa mengetahui asbâb al-nuzûlnya.
Al-Zarqânî memberikan pendefinisian asbâb al-nuzûl sebagai hal-hal yang diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut diturunkan. Maksudnya adalah bahwa asbâb al-nuzûl merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau merupakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kalangan shahabat dan menjadi perhatian khusus Rasulullah.
Dengan mengetahui asbâb al-nuzûl ada beberapa manfaat yang didapatkan. Secara terperinci Al-Suyûthî dan az-Zarqânî menuturkan dalam karyanya masing-masing. Pertama, mengetahui hikmah pensyari’atan suatu hukum. Kedua, membantu pemahaman makna suatu ayat serta menjelaskan isykâl (kejanggalan atau kesulitan makna)nya.
Ayat di atas menegaskan bahwa seseorang tidak wajib menghadap kiblat ketika melakukan shalat, dalam perjalanan maupun tidak. Namun hal ini menyalahi ijma’ . Dengan mengetahui sebab turunnya ayat akan diketahui bahwa ayat tersebut hanya tertentu pada shalat sunnat dalam perjalanan. Atau dalam kasus seseorang yang buta arah sehingga ia menentukan arah kiblat dengan ijtihad (upaya dan kemantapan hati)nya sendiri, dan ternyata pilihannya salah. Maka ia tidak wajib meng-qadlâ’.
Ketiga, menepis persangkaan hashr (ketertentuan pada suatu hal semata).
Al-Syâfi‘î mengatakan bahwa ketika orang-orang kafir menganggap haram apa yang dihalalkan Allah I, menganggap halal apa yang diharamkan Allah I, dan selalu berseberangan dan bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah ayat ini dengan tujuan menentang kehendak mereka. Seakan-akan Allah I berfirman : “Tidak ada keharaman kecuali apa yang kalian halalkan, yakni bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan makanan yang dibuat persembahan kepada selain Allah”. Dengan ayat ini tidaklah dimaksudkan kehalalan dari selain hal-hal yang dituturkan. Karena tujuan ayat ini hanya menetapkan keharaman, bukan menetapkan kehalalan.
Keempat, mentakhshîsh hukum dengan asbâb al-nuzûl ayat, menurut orang-orang yang memiliki pandangan bahwa yang dijadikan standar hukum adalah khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat), bukan ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat). Kelima, Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman hukumnya walaupun ada keterangan yang mentakhshîsh keumuman ayat. Sehingga tatkala sebab turunnya ayat diketahui, maka takhshîsh hanya berlaku pada selain kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat. Karena tercakupnya kasus ketika ayat turun dalam keumuman redaksi lafazh merupakan sesuatu yang qath’i (pasti), dan mengeluarkannya dari cakupan keumuman berdasarkan ijtihad adalah tidak diperbolehkan. Keenam, mengetahui perihal apa dan tentang siapa ayat diturunkan. Ketujuh, secara psikologis, dapat me-mudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi orang yang mendengarkan ayat sekaligus mengetahui latar belakang turunnya. Karena sabab dan hukum terkait dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Sedangkan suatu peristiwa terkait dengan tokoh pelaku, dimensi ruang dan waktunya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor kuatnya ingatan, serta kemudahan mengingatnya saat mengingat kaitan peristiwanya.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan asbâb al-nuzûl, ulama’ ushul fiqh berbeda pandangan mengenai apakah yang dijadikan patokan adalah ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat) atau khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat) ? Kalangan al-Syafi’iyyah memilih pendapat pertama. Mereka berpijak pada sikap para shahabat dan lainnya dalam keumuman redaksi ayat yang turun karena sebab tertentu. Sebagaimana ayat zhihâr yang dilatarbelakangi oleh kasus yang dialami Salmah bin Shakhr, ayat li‘ân yang turun dengan tokoh peristiwa Hilâl bin Umayyah, dan ayat yang menjelaskan sanksi qadzf pada orang-orang yang menuduh Umm al-mu’minin ‘Aisyah ra. Dampak hukum ayat-ayat ini melebar cakupannya pada selain tokoh-tokoh peristiwa turunnya ayat-ayat di atas.
Dalam catatan pinggir Al-Luma‘ dipaparkan bahwa argumentasi yang melandasi pendapat ini adalah sebuah hadits yang mengisahkan bahwa Rasulullah menerapkan suatu ayat sebagai hujjah dalam keumuman redaksinya, kendati ayat tersebut diturunkan dengan sebab dan tujuan tertentu.
Dari riwayat ini, Rasulullah menjadikan khithâb pada ayat di atas tidak sebagaimana konteks dan maksud diturunkannya ayat tersebut. Karenanya, sebagaimana yang menjadi pegangan mayoritas ulama', yang dijadikan patokan utama dalam menyikapi nash-nash Al-Qur'an atau hadits adalah keumuman teks, bukan kekhususan konteksnya
12. Nasikh dan Mansukh
Dalam kaitannya dengan pembahasan Al-Qur’an, permasalahan naskh (penyalinan hukum) tidaklah dapat diabaikan. Karena sebagai sumber hukum primer, Al-Qur’an haruslah menjadi rujukan utama dan pertama dalam penetapan hukum syari’at. Ketika suatu ayat Al-Qur’an disalin atau diganti hukumnya dengan ayat lain, maka keterkaitan ayat yang mansûkh (disalin hukumnya) tersebut dengan perbuatan mukallaf (pengemban beban syari’at) menjadi terputus dan tidak efektif lagi. Karenanya, dalam melakukan istinbâth (penggalian hukum dari nash-nash Al-Qur’an dan al-sunnah), seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat mansûkh berikut dalil yang menyalin (nâsikh)nya
13. Al-Fiqh
14. Ilmu Hadits, yang berguna menjelaskan sesuatu ayat yang mubham dan mujmal
15. Ilmu Mauhibah, yaitu Ilmu dianugerahkan Allah I untuk hambanya yang mengamalkan ilmunya.
Ibnu Abi Dunya berkomentar bahwa lima belas pengetahuan di atas laksana perangkat atau petunjuk bagi mufassir, tanpa penguasaannya ia tidak akan mampu mendapat gelar mufassir yang diakui tapi malah akan masuk dalam golongan mufassir bi ar-ra`yi yang sesat.
Dalam kitab al-Burhan disebutkan "cinta dunia, sifat takabbur, perbuatan bid'ah, dosa, lemahnya iman, mendewakan akalnya, logika yang tak berdasar kesemuanya merupakan hijab (penghalang) dari memahami wahyu Ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar