Pages

07/03/15

MAKALAH PERAN KPK DALAM PROSPEKTIF PENEGAK HUKUM

A.      Pendahuluan
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.
Di satu pihak, fungsi KPK, sebagai lembaga Super Body institusi penegak hukum kejahatan korupsi telah mendapatkan pembenaran juridis. Sehingga kehadiran KPK, umumnya cenderung menimbulkan kontorversial dalam praktek penegakan hukum kejahatan korupsi di tingkat lapangan. Terutama, adanya kesan tebang pilih yang tidak dapat  dihilangkan jejaknya. Di pihak lain, peran institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan merasa terkurangi. Sebab, dalam waktu lalu merupakan kewenangan bersama polisi, jaksa dan pengadilan umum. Akan tetapi, sejak keluarnya UU No.31/2002, kejahatan korupsi, dalam ukuran tertentu (di atas 1 miliar) merupakan jurisdiksi kompetensi KPK. Sehingga, pihak kepolisian, yang merupakan pintu gerbang proses penyelidikan dan penyidikan dalam penegakan hukum dalam tindak pelanggaran dan kejahatan, termasuk kejahatan korupsi menjadi amat terkurangi. Dalam kejahatan korupsi tertentu, polisi tidak dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan di tingkat lapangan, menempatkan situasi kontra-produktif bagi citra kepolisian. Ketidak wenangan polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kejahatan korupsi di tingkat kabupaten atau kotamadya, terkadang membuat masyarakat lokal begitu mudah mendiskreditkan peran penegak hukum, khususnya pihak kepolisian.
Di Indonesia Korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai penggunaan fasiltas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum.
Usaha penanggulangan tindak pidana korupsi yang lain sangat sulit untuk dilakukan, meskipun telah diupayakan suatu prioritas terhadap penanganan perkara jenis ini. Dikemukakan dalam kongres PBB VII mengenai Tahune Prevention of Crime and Treatment of Offders tahun 1980, bahwa aparat penegak hukum relatif tidak berdaya atau tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi jenis tindak pidana ini. Ini dikarenakan dua hal, yakni:
a)      Kedudukan ekonomi atau politik yang kuat dari pelaku (tahune high economic or political status of tahune perpetrators).
b)      Keadaan disekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa sehingga mengurangi kemungkunan mereka untuk dilaporkan (and tahune circum tence under which tahune had been commited were such as to decrease tahune likelihoodof tahuneir being report prosecuted).
Berdasakan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya. Sedangkan Pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia. Transparansi Internasional menempatkan Indonesia sebagai negara sepuluh besar yang terkorup didunia dalam hasil surveynya.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru dan menjadi endemik yang sangat lama semenjak pemerintahan Suharto dari tahun 1965 hingga tahun 1997. Penyebab utamanya karena gaji pegawai negeri dibawah standar hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang lemah. Secara sistematik telah diciptakan suatu kondisi, baik disadari atau tidak dimana gaji satu bulan hanya cukup untuk satu atau dua minggu. Disamping lemahnya sistem pengawasan yang ada memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri untuk mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi walau dengan cara melawan hukum.
Selain itu, sistem peradilan pidana Indonesia tidak berjalan efektif untuk memerangi korupsi. Sehingga pelaku korupsi terbebas dari jeratan hukum. Menurut Bank Dunia bahwa korupsi di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan seperti Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi.
Kejadian tersebut di atas menyebabkan protes dan penolakan dari masyarakat luas terhadap pemerintahan Suharto maupun para penggantinya. Adanya korupsi dimana-mana dan timbulnya perasaan jengkel karena keadilan yang dinantikan masyarakat tak kunjung tiba, ditambah lagi keadaan ekonomi rakyat kian parah. Indonesia Corruption Watch mengemukakan bahwa hal tersebut di atas menghasilkan krisis ekonomi di Indonesia yang berujung dengan kejatuhan rezim Suharto.
Reformasi nasional tahun 1998 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Suharto pada bulan Mei 1998 tidak serta merta mengeliminasi korupsi. Walaupun Presiden berikutnya setelah era Suharto berjanji untuk memerangi korupsi tetapi hanya sedikit sekali kemajuan yang dicapai untuk memerangi korupsi. Bahkan para presiden pengganti Suharto telah tercemari skandal korupsi seperti pengumpulan dana politik secara melawan hukum. Banyak para pejabat negara telah terlibat dalam skandal korupsi termasuk para pejabat tinggi negara, petinggi Golkar, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dalam kampanye pemilihan Presiden pada tahun 2004 yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusung dan berjanji untuk memerangi korupsi sebagai tujuan utamanya. Jawaban untuk memerangi korupsi merupakan harapan seluruh bangsa Indonesia minus koruptor. Hal inilah yang menarik pemilih untuk memilihnya dan berhasil mengalahkan Megawati. Sebelumnya telah di bentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan pidana di Indonesia. KPK secara resmi dibentuk dengan adanya UU. Nomor 30 tahun 2002 dan setelah terpilihnya pimpinan dan Ketua KPK pada tanggal 16 Desember 2003. Sebelum kita membahas peranan KPK dalam memerangi korupsi di Indonesia, kita akan bahas dulu kondisi pemerintahan di Indonesia.
1.      Pemerintahan
Pemerintahan yang baik adalah suatu pemerintahan yang berdasarkan hukum, meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas terhadap pelayanan pada masyarakat dan memerangi korupsi. Pemerintahan yang baik masih merupakan suatu impian di Indonesia. Kita dapat lihat bagaimana buruknya pelayanan umum di Indonesia. Masyarakat luas dan bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono sendiri sepulang dari Malaysia mengaku malu dan dipermalukan disuatu forum di Kuala Lumpur karena seorang investor dari Thailand mengeluhkan aparat imigrasi Indonesia mencari-cari masalah ketika dia akan berkunjung ke Indonesia. Belum lagi pejuang devisa (TKI danTKW) Indonesia yang berada didalam dan diluar negeri diperas dan diperdagangkan oleh aparat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta aparat Imigrasi. Awal tahun 2006, terbongkarnya kasus pembobolan uang negara sebanyak Rp 150 milyar yang dilakukan pengusaha dengan cara memalsukan dokumen ekspor/faktur bekerjasama dengan Faisal Siregar, Kepala Kantor dan empat pejabat di Kantor Pelayanan Pajak dan aparat bea cukai mencairkan restitusi pajak. Hal ini telah mereka lakukan puluhan tahun yang lalu.
Nampaknya warisan kebobrokan dari pemerintahan Suharto masih dan mungkin akan terus berlanjut di Indonesia. Walaupun ada juga sisi positipnya pada waktu pemerintahan Suharto seperti stabilitas dan keamanan tetap terjamin pada waktu itu, tidak ada kelangkaan dan kenaikan BBM yang membuat masyarakat sekarat. Selanjutnya, kita akan membahas beberapa institusi pemerintah yang mempunyai peran penting dan tanggung jawab penuh untuk memerangi korupsi seperti Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, Partai Politik dan DPR/Parlemen.
Sistem peradilan di Indonesia adalah salah satu lembaga yang terkorup yang dikenal dengan mafia peradilannya. Jadi lembaga negara ini tidak bisa diharapkan untuk memerangi korupsi. Jual beli perkara terhadap putusan telah terjadi di berbagai tingkat seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan bahkan terhadap benteng utama dan terakhir penjaga keadilan yaitu Mahkamah Agung (MA). Memahami kebusukan yang terjadi di peradilan, maka pada tanggal 20 Desember Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan reformasi peradilan di MA. Acara ini dihadiri oleh seluruh unsur pimpinan MA, hakim agung, seluruh ketua pengadilan tingkat pertama, banding, pejabat tinggi lainnya dan wakil dari negara sahabat. Belum lagi hilang dari ingatan gong reformasi peradilan dicanangkan, terjadi pemerasan yang dilakukan oleh Mathius B Situru, Panitia Pengganti di PN Jakarta Pusat dengan cara memperlambat pemberian salinan putusan dan meminta uang agar salinan baru bisa diberikan. Kemudian, Jammes Darsan Tony dan komplotannya (Peneliti di Litbang dan staf di MA) sedangkan panitera pengganti dan hakim PN Jakarta Selatan memeras saksi dalam kasus korupsi P.T. Jamsostek. Kasus ini menyebabkan ditetapkan tersangka dan ditahannya panitera pengganti, Andrian Jimmy Lumanauw dan Hakim Herman Alossitandi, Ketua Majelis Hakim perkar P.T. Jamsostek. Sebelumnya, penangkapan advokat Syafiudin Popon, Ramdhan Rizal dan M. Sholeh, dua panitera PT Jakarta. Kasus Probo Sutedjo yang melibatkan uang milyaran rupiah dengan tersangka pengacara Harini Wijoso, pagawai MA, jaksa, hakim bahkan melibatkan Hakim Agung. Belum lagi banyaknya kasus illegal logging dan hutang terhadap negara yang dikalahkan oleh pengadilan. Nampaknya transaksi uang dalam dunia peradilan menunjukkan bahwa mafia peradilan memperdagangkan hukum dan kewenangan adalah realitas yang tak perlu dibantah lagi. Hal tersebut membuat masyarakat curiga dan tidak menghormati lembaga peradilan. Sulit untuk membuat masyarakat percaya bahwa peradilan adalah tempat untuk mencari keadilan dan tidak memihak. Kalau kita lihat fakta-fakta dan khususnya terhadap korupsi yang dilakukan oleh mantan presiden Suharto, keluarga, para pejabat seperti mantan Jaksa Agung M Rachman, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seperti Syamsul Nursalim, Samadikun Hartono, Agus Anwar, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Eko Adi putranto, Sherny Konjongiang, David Nusa Wijaya, Sudjiono Timan dan Prayogo Pangestu.
Disadari bahwa gaji para hakim pada umumnya rendah dibanding dengan kekuasaan yang mereka miliki. Sebagai contoh seorang yang baru diterima sebagai hakim hanya menerima gaji lebih kurang dua juta rupiah. Namun, dari awal yang bersangkutan memulai karir sebagai hakim, mereka didorong untuk melakukan praktek korupsi karena harus bermodal dulu untuk menjadi hakim. Bukan rahasia umum bahwa untuk diterima menjadi hakim, mereka harus memberikan uang sogokan yang besar. Bahkan dalam seleksi hakim agung pun telah beredar kabar isu suap dikalangan DPR. Begitu juga halnya dengan Kejaksaan, merupakan lembaga yang sering mendapat tudingan yang sama. Disamping itu dalam hal penganan beberapa kasus Kejaksaan Agung cenderung bertindak diskriminatif, seperti Kasus Dana Abadi Umat (DAU) hanya difokuskan kepada Said Agil Husin Al Munawar (mantan Menteri Agama) diputus 5 tahun oleh pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Taufik Kami (Direktur Jenderal di Departeman Agama) dan empat auditor Badan Pemeriklasaan Keuangan (BPK). Sedangkan dalam sidang dan surat dakwaan terungkap aliran dana kepada Sekretaris Jenderal BPK, membiayai anggota Komisi VI DPR untuk memantau penyelenggaraan haji, dan pendidikan hakim agama ke Mesir tidak diusut sama sekali.
Berbagai reformasi telah dilakukan untuk memperbaiki sistem peradilan. Telah beberapa hal yang dilakukan untuk mereformasi MA dan pengadilan di Jakarta dengan berbagai mutasi. Bahkan mantan Presiden Gus Dur (1999-2001), walaupun ditentang oleh DPR pada saat itu atas calon yang diusulkan untuk Ketua dan Wakil ketua MA. Reformasi di MA dengan menggantikan separuh hakim karir dengan profesional yang bersih dari korupsi.
Untuk mengatasi masalah tersebut diatas dalam rangka mengawasi perilaku para hakim telah dibentuk Komisi Yudisial (KY) pada tanggal 8 Juni 2005 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang KY. Para hakim mulai diawasi oleh KY semenjak Presiden melantik tujuh anggotanya pada tanggal 2 Agustus 2005. Menurut KY bahwa kinerja para hakim masih berada pada level yang rendah. Hal ini berdasarkan jumlah laporan masyarakat yang telah mencapai 400 laporan semenjak Komisi Judisial bekerja lebih kuran 3 hingga 4 bulan. Dari jumlah tersebut 37 laporan telah selesai diperiksa dan sebagaian besar telah menghasilkan rekomendasi tentang adanya pelanggaran kode etik oleh para hakim. Namun, laporan dari KY belum diperhatikan oleh MA. Komisi Yudisial juga mengusulkan untuk melakukan seleksi ulang terhadap 49 hakim agung yang ada di MA. Karena Menurut Busyro Muqodas, Ketua Mahkamah Yudisial bahwa MA merupakan puncak dari peradilan di Indonesia, sementara kasus-kasus suap yang terjadi di MA merupakan representasi dari lemahnya manajemen serta kepemimpinan di MA.
Nampaknya, usulan seleksi ulang hakim agung mendapat tanggapan positif dari presiden Susilo Bambang Yuoyono, bahkan telah memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk men-drive tentang usulan dari KY. Praktisi hukum, Adnan Buyung Nasution ikut mendukung usulan KY tersebut. Usulan KY merupakan revolusi besar di badan peradilan dan didukung oleh politisi dari Ketua DPR, Fraksi PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera. Namun, usulan seleksi ulang hakim agung tersebut ditentang keras oleh Ikatan Hakim Indonesia dengan alasan pelecehan terhadap 49 hakim agung dan anggota DPR yang menyeleksi mereka. Penolakan seleksi ulang ini menimbulkan kecaman dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Pada saat bersamaan Wakil Ketua DPR, Zainal Ma’rif menyarankan sebaiknya Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) sebagai dasar untuk menyeleksi ulang 49 hakim agung.
Kondisi peradilan di Indonesia betul-betul hancur dan pada titik yang paling rendah dan tidak bisa diharapkan oleh masyarakat yang ingin mencari keadilan. Ini berarti negara hukum di Indonesia hanyalah ilusi belaka, bilamana lembaga peradilan tidak dibenahi. Praktik korupsi dan mafia peradilan di Indonesia sudah dalam kondidsi yang darurat. Untuk membersihkan peradilan harus dilakukan dengan cara yang luar bisa seperti dengan PERPU untuk menyeleksi ulang hakim agung di MA. Pemberantasan teroris yang hanya menimbulkan korban 180 dilakukan dengan PERPU, maka koruptor juga perlu diatasi dengan PERPU, karena koruptor di peradilan telah meluluh lantakan citra negara hukum, memiskinkan rakyat dan menghancurkan perekonomian bangsa.
Belum selesai gonjang ganjing usulan Komisi untuk menguji ulang Hakim Agung, terbongkar bahwa secara diam-diam, Bagir Manan, Ketua MA dengan SK Nomor KMA/119/SK/VI/2005 pada 20 Juni 2005, memperpanjang usia pensiun dirinya dan sembilan Hakim Agung (Susanti Adi Nugroho, Titiek Nurmala Siagian, M Bahaudin Qoudry, Parman Suparman, Kaimuddin Salle, Iskandar Kamil, Sudarno, dan German Hoediarto). Hal ini mengundang kritik dari berbagai pihak, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun akdemisi. Karena dalam Pasal 13 Undang-undang No 22 tahun 2004 tetang KY diatur, bahwa kewenangan KY adalah mengusulkan Hakim Agung. Selanjutnya Pasal 14 menyatakan dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, MA menyampaikan kepada KY daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan sebelum berkahirnya masa jabatan tersebut. Disamping itu dalam pertimbangan perpanjangan pensiun disebut para hakim yang diperpanjang mempunyai  prestasi kerja yang luar bisa. Sebaiknya di uji ulang para Hakim Agung dan diganti ketua maupun wakil ketuanya. Lagi-lagi masyarakat Indonesia dikejutkan dan dikecewakan dengan putusan Hakim PN Jakarta Selatan yang memvonis bebas mantan Direksi Bank Mandiri, ECW Neloe, Iwayan Pugeg dan Sholeh Taspiran, yang kemudian diikuti dengan vonis bebas direksi PT CGN, yakni Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan.
Ada perkembangan terakhir yang menarik terhadap Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilantik Presiden pada bulan Juli 2004 berdasarkan UU. No 30 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor membuat gentar dan menciutkan nyali para pelaku korupsi. Beberapa terdakwa korupsi yang mencoba mencari keadilan ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi justru mendapatkan hukuman lebih berat. Sebagai contoh Abdullah Puteh, mantan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, pada pengadilan tingkat pertama dihukum 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan serta membayar ganti rugi Rp3.687 miliar. Pada putusan banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan menyebabkan tertangkap tangan Tengku Safiudin Popon, salah seorang pengacaranya dan panitera PT DKI Jakarta Ramadhan Rizal, beserta uang suap Rp 250 juta. MA menjatuhkan hukuman 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan serta uang pengganti sebesar Rp 6.654 miliar. Apabila tidak dilaksanakan Jaksa penuntut umum diperintahkan menyita harta benda Puteh. Nasib yang sama dialami juga oleh Muhammad Harun Let Leta, mantan Kepala Bagian Keuangan Dirjen Hubungan Laut dan Tarsisius Walla, mantan Sekretaris Dirjen Perhubungan laut.
Fenomena baru ini menyebabkan terpidana korupsi yang kasusnya ditangani KPK kecut dan gentar untuk mengajukan banding terhadap vonis pengadilan Tipikor. Sehingga Mulyana W Kusuma yang telah memasukkan memori banding mengurungkan niatnya dan mencabut memori banding dari PN Jakarta Pusat. Sikap ini pun diikuti oleh Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU, Susongko Suhardjo, Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal KPU. Hal ini dilain pihak dapat mendorong membangun keyakinan pencari keadilan, yang percaya bahwa putusan di Pengadilan Tipikor memenuhi rasa keadilan dan kinerja pengadilan korupsi baik. Tapi bukan berarti gejala ini menandai hilangnya mafia peradilan secara keseluruhan. Untuk itu diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk terus memberikan perhatian dan pengawasan pada Pengadilan Tipikor dan peradilan pada umumnya.
3.       Kepolisian
Selama ini kepolisian berada dalam angkatan bersenjata, namun telah mandiri semenjak tahun 2000, dalam rangka untuk memperkuat fungsi menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat. Seperti peradilan, kepolisian mengalami krisis kepercayaan dimata masyarakat. Korupsi yang berkembang dilembaga kepolisian dari hal yang terkecil seperti pengurusan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, pelanggaran lalu lintas, hingga illegal logging, perjudian, pencurian, bisnis narkoba dan obat bius, penjambretan, perampokan, penyelundupan pasir timah, BBM, kendaraan bermotor sudah biasa dilakukan oleh aparat kepolisian dari pangkat yang paling rendah hingga pangkat yang tinggi. Masyarakat yang mengalami tindak kejahatan memilih untuk tidak melaporkan ke polisi karena adanya rasa takut dari masyarakat disebabkan prosesnya berbelit-belit, makan waktu dan bisa jadi megalami pemerasan oleh polisi.
Hal tersebut terjadi dilingkungan kepolisian karena para polisi yang melakukan tindak kriminal bisa berkelit dan tidak ada suatu lembaga yang mengawasi para polisi. Dengan demikian, seperti peradilan kepolisian bukanlah merupakan lembaga yang bisa diharapkan untuk memerangi korupsi karena di dalam lembaga kepolisian sendiri penuh dengan korupsi. Bahkan pada kenyataannya banyak aparat kepolisian yang terlibat dalam perjudian ilegal, premanisme dan pelacuran di seluruh wilayah Indonesia.
Kondisi yang tidak kondusif di lingkungan kepolisian di atas mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah mengganti pucuk pimpinan kepolisian, disamping karena dituntut untuk mengatasi masalah kelangkaan BBM dikarenakan ulah penyelundup, penimbun dan pengoblos. Kelangkaan BBM sudah pada tingkat meresahkan masyarakat dan membuat masyarakat panik. Kemudian, Presiden dalam pidato pelantikan Jenderal Sutanto sebagai Kapolri baru menekankan tugas polisi untuk memerangi korupsi, perjudian, kejahatan jalanan serta menyelesaikan masalah-masalah didaerah. Kapolri Sutanto dalam paparannya di depan DPR mengakui wajah Polri masih jauh dari harapan masyarakat. Bahkan dia menegaskan bahwa aparat penegak keamanan yang berwatak sipil yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyakat masih sebatas cita-cita. Dia juga menambahkan bahwa dimata masyarakat sosok polisi masih tampil arogan, senang menggunakan kekerasan, diskriminatif, tidak responsif, dan belum profesional. Sehari setelah pelantikannya, dia memerintahkan jajarannya untuk melakukan razia dan penutupan tempat-tempat perjudian dan peredaran gelap narkoba.
Di bawah kepemimpinan Jenderal Sutanto, David Nusa Widjaya, terpidana delapan tahun dalam kasus pembobolan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melarikan diri ditangkap Tim Pemburu Koruptor di San Fransisco, Amerika. Teroris bisa ditumpas dengan tertembaknya tokoh utama teroris Indonesia Dr. Azhari dan tertangkapnya beberapa anggota teroris. Kemudian perjudian kian menyusut di masyarakat. Begitu juga dengan premanisme kian berkurang karena sikap tegas pucuk pimpinan kepolisian. Pemberantasan Narkoba melaju dengan luar biasa dengan tertangkapnya para produsen dan tempat pembuatan narkoba di beberapa kota di Indonesia. Selanjutnya penindakan perwira dilingkungan aparat kepolisian yang nakal mampu menyentuh perwira tinggi. Dalam waktu tidak terlalu lama Kapolri melakukan pergantian terhadap pejabat Polri yang diduga bermasalah yaitu Kapolwil Bogor, Kombes Bambang Wasgito, Kombes Ciptono dan Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisari Jenderal Binarto yang diduga memberi perintah kepada Komisari Besar Toni Suhartono Kasat Polairud Polda Jatim dalam kasus pelepasan kapal tongkan pengangkut 100 ton solar selundupan.
Kasus yang terbaru yang terjadi yaitu keterlibatan beberapa Jenderal Markas Besar Kepolisian dalam kasus penyidikan BNI. Karena tersangka kasus pembobolan BNI sebanyak Rp1.7 triliun menyebutkan adanya tiga jenderal yang terlibat. Sehingga ditetapkan sebagai tersangka dan ditahannya Komisaris Jenderal Suyitno Landung, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Kabareskrim Mabes POLRI), Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, mantan Direktur Ekonomis Khusus pada Bareskrim Mabes Polri, Komisari polisi Irman Santoso, mantan Kanit II Perbankan Direktorat Ekonomi Khusus Bareskrim dan 16 penyidik di Mabes Polri yang terlibat. Namun, hal tersebut tidak membuat jera para polisi untuk melakukan penyimpangan dimana satu perwira pertama dan dua bintara Polisi Sektor Setiabudi Jakarta menggelapkan barang bukti sebesar 100.000 (seratus ribu) US dolar juta dari kasus yang ditanganinya, membuat geger Polisi Daerah Metro Jaya, dan polisinya sudah diproses.
Walaupun demikian terobosan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap debitor nakal BLBI tanpa melalui proses hukum akan menjadi preseden buruk bagi koruptor lain. Alasan pemerintah dengan mengatakan mereka debitor kooperatif tidak bisa diterima dengan akal sehat, karena mereka melarikan uang bertahun-tahun keluar negeri dan menyebakan krisis ekonomi tahun 1998. Kedatangan ketiga debitor bernama James Januardi, Ulung Bursa dan Lukman Astanto yang mewakili Atang Latief ke Istana Presiden yang diakui oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia merupakan tanggung jawabnya menimbulkan banyak kecurigaan dan tanda tanya. Menurut mantan Ketua MPR Amien Rais, dulu waktu Tommy Soeharto bertemu Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) di Hotel Borobudur saja, orang gempar. Padahal pertemuan di tempat netral. Bayangkan, sekarang tiga konglomerat hitam masuk ke pusat kekuasaan. Artinya, ada orang-orang yang menjadi fasilitator. Pihak kepolisian sangat diskriminatif dalam menangani perkara korupsi. Karena koruptor kasus kecil langsung diproses hukum. Tapi, yang merugikan negara hingga triliunan rupiah bisa dimaklumi dengan alasan ada niat mengembalikan uang ke kas negara. Kalau yang kasusnya besar sampai triliunan, niat mengembalikan dulu baru proses hukum. Tapi, yang kecil-kecil langsung diproses hukum. Dengan kedatangan ketiga pengemplang BLBI yang diantar oleh pejabat Kepolisian yang berbintang itu bisa merusak citra lembaga kepresidenan.
Alasan yang diberikan Jaksa Agung bahwa mekanisme penyelesaian perkara BLBI sudah jelas karena ditangani oleh tiga Presiden dan Presiden Yudhoyono hanya melanjutkan saja kebijakan yanga ada bahwa mereka yang kooperatif memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) dan selanjutnya Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), adalah sangat bertententangan dengan azas hukum pidana bahwa pengembalian dana BLBI tidak menghapuskan perbuatan pidana oleh pelaku BLBI.
Sebaliknya tindakan dan keberanian Jenderal Sutanto membersihkan institusi kepolisian dari pelaku korupsi sebelum menata perilaku masyarakat, merupakan suatu tindakan nyata yang patut didukung oleh segenap masyarakat yang telah lama mengimpikan mempunyai aparat penegak keamanan yang berwatak sipil yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Hal ini ternyata membawa angin segar dalam merebut kembali citra institusi yang dipimpinnya. Diharapakan pembenahan di kepolisian terus membersihkan, memperbaiki diri dan meningkatkan peningkatan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Usaha untuk membangun Kepala Polisi Republik Indonesia menjadi institusi penegak keamanan yang berwatak sipil, melindungi, mengayomi, dan melayani masayarakat menjadi pudar setelah terbongkarnya kasus pengintelan yang dilakukan aparat intel Polisi Daerah Metro Jaya terhadap anggota DPR-RI dari Fraksi PKS dan Fraksi PDI-F yang ingin mengawasi proses impor beras yang dilakukan oleh pemerintah dari negara Vietnam. Hal ini merupakan cara-cara yang keji dan kotor Orde Baru dalam melibas lawan politik. Sudah barang tentu melewati dan menyalahi tugas serta kewenangan dan juga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang serius. Sayangnya penyelesaian masalah ini berakibat Kombespol Sukamto Handoko, direktur Intelkam Polda Metro Jaya, dicopot dari jabatannya. Padahal seharusnya ada pihak yang lebih tinggi perlu dimintai pertanggung jawabannya.
4.      Partai Politik dan Parlemen
Partai politik dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Pada zaman Suharto, partai politik dibatasi hanya tiga partai dimana GOLKAR yang mendominasi pemilihan umum dan partai lainnya hanya sebagai pelengkap atau peramai serta tidak mempunyai peran apa-apa. Dengan adanya gelombang reformasi bulan Mei 1998, maka terjadilah perubahan yang revolusioner dalam bidang ketatanegaraan dan perubahan undang-undang tentang partai politik. Hal ini memberikan kebebasan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum dan mendirikan partai politik. Tingginya harapan masyarakat terhadap peranan partai politik dan meningkatnya demokrasi dilengkapi dengan transparansi, negara hukum dan akuntabilitas.
Sayangnya partai yang besar anggotanya masih didominasi oleh orang-orang yang karirnya dan besarnya dari dalam lingkungan orde baru. Mereka terdiri dari mantat birokrat, mantan pengurus GOLKAR, pensiunan militer dan polisi begitu juga dalam bidang bisnis dan politik. Momen reformasi yang yang berhasil mendudukkan PDI-P menjadi mayoritas di parlemen dan Ketua Umumnya, Megawati berhasil menjadi Presiden Indonesia yang ke empat tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memerangi korupsi. Bahkan Partai Golkar yang dulunya merupakan GOLKAR telah menjadi partai terbesar yang mendapat kursi di parlemen pada pemilihan umum anggota DPR tahun 2004. Partai-partai besar sudah dikenal masyarakat luas terlibat dalam money politik dari pusat hingga ke daerah.
Media massa maupun Indonesian Corruption Watch telah memberitakan bahwa mayoritas anggota DPR dari berbagai partai telah menerima suap dari lembaga pemerintah dan sektor swasta untuk menentukan atau memasukkan anggaran. Lebih lanjut komisi tertentu di DPR yang berhubungan dengan anggaran dan pembangunan merupakan tempat basah yang bisa terjadinya transaksi suap untuk meluluskan anggaran. Masih ingat bahwa tiga anggota DPR RI dikenai sanksi oleh Badan Kehormatan (BK) DPR karena terlibat percaloan proyek dana bencana alam yang dianggarkan pemerintah tapi mereka hanya dikenakan sanksi ditarik oleh fraksinya dari anggota Panitia Anggaran DPR. Pemborosan uang rakyat yang dilakukan 15 orang anggota DPR RI yaitu melakukan kunjungan mubazir ke mesir dengan kedok studi banding tentang perjudian mencengangkan rakyat karena diberbagai tempat rakyat Indonesia sedang ditimpa musibah gempa, Tsunami yang belum selesai penanggulannya dan shock karena kenaikan BBM yang lebih dari 100 persen.
Dalam hasil survei yang dilakukan Gallup International yang dilansir oleh Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Transparancy International Indonesia, dalam rangka memperingati hari anti korupsi bahwa partai politik merupakan lembaga terkorup sedangkan parlemen/DPR di Indonesia menjadi lembaga terkorup kedua bersama polisi dan bea cukai. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak kalah bersaing dalam mengikuti jejak DPR RI melakukan money politik dan korupsi. Bahkan beberapa DPRD bersama-sama dengan pemerintah daerah menjual aset pemerintah daerah ke pihak swasta dengan harga dibawa standar (Nilai Jual Objek Pajak) begitu juga korupsi berjemaah yang dilakukan dalam menggunakan dana operasional. Jual beli suara dalam pemilihan kepala daerah telah dilakukan dari dahulu. Namun, hal ini telah berubah semenjak diadakannya pemilihan langsung terhadap kepala daerah.
Pada kenyataannya partai politik, DPRD dan DPRRI lembaga negara yang paling sarat dengan korupsi dan money politic dibanding dengan institusi lainnya. Hal inipun diakui oleh Jusuf Kalla, Agung Laksono yang merasa malu bahwa dua lembaga yang dipimpinnya oleh hasil survei yang dilansir Transparancy Internasinal Indonesia dinyatakan sebagai lembaga terkorup rangking satu dan dua. Untuk itu diperlukan perhatian khusus oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat yang punya akuntabilitas untuk terus mengawasi dan mencemati partai politik dan parlemen.
B.       Sistem Hukum Terkait Kejahatan Korupsi
Kejahatan korupsi yang semula dipandang sebagai kajahatan biasa (Ordinary Crime), masyarakat internasional saat ini, sepakat untuk menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Keadaan luar biasa tersebut meniscayakan adanya tindakan dan penanganan secara luar biasa pula. Namun, penanganan yang luar biasa tidaklah berarti dapat keluar dari koridor the rule of law. Asas-asas hukum yang selama ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pemidanaan yang berkeadilan harus tetap dapat diberlakukan.
Dalam perspektif hukum nasional paska reformasi, UU No 31 tahun 1999, tentang Tindak Pidana Korupsi rumusan kejahatan korupsi lebih komprehensif. Kejahatan korupsi dipandang, sebagai setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Secara substansif, pasal tersebut mengandung perbuatan seseorang, baik aparat pemerintah atau bukan, tetapi perbuatan yang menyalahi kewenangan tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat berakibat timbulnya kerugian negara.
Seiring dengan itu, Muhammad Faraouk dalam kajiannya menyebutkan bahwa bentuk bentuk korupsi ke dalam dua sifat.(1) general dengan misal: merajalela dimana-mana, relatif terbuka (mudah diketahui), menyangkut publik (banyak orang), dengan jumla uang yang relatif kecil serta pada umumnya melibatkan pegawai/pejabat rendahan dan didorong oleh kebutuhan primer baik pribadi maupun institusi. (2) Spesifik/terbatas: hanya pada kesempatan/menyangut kasus tertentu (eksklusif), relatif tertutup dengan modus yang canggih (sulit dibuktikan), melibatkan orang tertentu (bisnis) dan pejabat yang berwewenang yang lebih tinggi dengan jumlah uang yang relatif besar dan biasanya lebih didorong oleh kesepakatan dari pada primer (Faoruk Muhammad, 2007: 5).
Seiring dengan itu Romli Atmasasmita, sebagai pakar hukum pidana internasional menegaskan bahwa strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan empat (4) pendekatan yaitu pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan, pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural. Begitu kompleksnya penyebab kejahatan korupsi, maka pembenrantasan korupsi dengan pendekatan konvensional dipandang sudah tidak relevan lagi. Sehingga modus operasi tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana kita harus dijadikan suatu kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crimes). Sebab, upaya mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dalam upaya memerangi kejahatan korupsi merupakan bentuk kewajiban negara untuk memenuhi tuntutan hak-hak asasi sosial ekonomi masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh pasal 29 Deklarasi PBB (Romli Atmasasmita, 2004: 13).
C.      Tantangan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terkait UU
Terkait dengan sistem hukum penanggulangan tindak pidana kejahatan korupsi, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjadi ikon nasional dan internasional di Indonesia. Bilamana pada masa lalu, ketentuan normatif mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi telah dipandang kurang lengkap peraturan hukumnya. Oleh karena ketiadaan lembaga penegak hukum khusus (Special Task Force for Combating Corrution) menjadi penyebab utama penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi tidak fektif. Karena itu, urgensi dibentuknya KPK, melalui UU No 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang adil da makmur dsan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan memberikan amanah dan tanggungjawab kepada KPK untuk melakukan peningkatan pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih profesional, intensif, tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan negara, dan juga menghambat pembangunan nasional.
Kedudukan KPK sebagai institusi hukum yang strategis oleh karena memiliki kewenangan lebih kredible dan profesional UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, status dan sifat serta kewenangan KPK sebagai lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (pasal 3). Kedua, KPK secara khusus dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (pasal 4). Ketiga, asas-asas yang dipergunakan KPK dalam menjalan tugasnya yaitu, kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Keempat, kewenangan KPK yang melebihi penegak hukum konvensional adalah terletak pada pasal enam (6) yaitu KPK mempunyai tugas, (a) kordinasi dengan instansi yang berwewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instans yang berwewenang dalam melakukan pemberantasan korupsi (c), melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan tidakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
D.      Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Menuliskan pendapatnya tentang KPK di dalam blognya. Berikut ini kutipannya:
Melawan Pemberantasan Korupsi
Dalam situasi dimana praktek korupsi yang telah menggurita mulai diberantas, hambatan dan tantangan untuk melakukannya tidak kecil. Meskipun usaha-usaha serius mulai dibangun, namun berbagai pihak yang tidak diuntungkan oleh situasi baru akan melawan. Perlawanan itu tidak sekedar menggunakan satu pendekatan, akan tetapi berbagai cara dilakukan untuk meredam gerakan pemberantasan korupsi. Apalagi jika kemudian, dukungan politik untuk memberantas korupsi ternyata tidak terlalu besar. Paling kurang dukungan politik dari tiga pilar pemerintahan, yakni eksekutif, legislative maupun yudikatif. Ketiga sektor ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan atas keberhasilan atau kegagalan dalam memberantas korupsi. Pada mulanya, kesulitan terbesar dalam memberantas korupsi adalah minimnya perangkat hukum beserta struktur penegakannya yang sudah demikian hancur. Berbagai peraturan yang telah ada tidak banyak membantu, alih-alih justru menyulitkan agenda pemberantasan korupsi.
Demikian halnya dengan aparatur penegak hukum yang tidak cakap. Barangkali ketidakcakapan itu sebagian besarnya lahir karena mentalitas yang buruk. Hampir tidak ada cermin yang memantulkan integritas dan akuntabilitas atas kerja-kerja aparat penegak hokum dalam memberantas korupsi. Yang lebih mengerikan, upaya-upaya penegakan hukum justru digembosi oleh mereka sendiri. Tak heran jika upaya untuk melibatkan masyarakat dalam memberantas korupsi pun tidak mudah dilakukan. Meskipun hal ini merupakan unsur penting bagi upaya untuk menciptakan mekanisme kontrol yang efektif, ditengah kondisi nyata bahwa kontrol antar dan intra lembaga negara juga tak luput dari kerusakan yang mengenaskan.
Namun tingginya sikap apatisme masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum adalah hambatan tersendiri bagi pelibatan yang lebih besar dalam pemberantasan korupsi. Mengingat di banyak negara, pembelajaran utama yang bisa dipetik dari usaha memberantas korupsi yang berhasil adalah hadirnya partisipasi masyarakat didalamnya. Mengaitkan ketiga hal tersebut dalam agenda pemberantasan korupsi yang sistematis bukanlah pekerjaan yang mudah. Prioritas perlu dibuat, akan tetapi pada saat yang bersamaan masyarakat membutuhkan hasil nyata yang cepat. Hal ini penting untuk membangkitkan kepercayaan mereka atas usaha serius pemerintah dalam memberantas korupsi. Namun disisi lain usaha itu tersendat karena tiadanya kondisi yang mendukung pemberantasan korupsi secara penuh. Meskipun berbagai peraturan baru dirancang, dan berbagai lembaga antikorupsi baru dibentuk, namun kehadiran mereka rentan dengan penggembosan.
Contoh yang paling faktual adalah pemangkasan fungsi kontrol Komisi Yudisial (KY) dan penghapusan pengertian perbuatan melawan hukum secara material dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam dua sidang gugatan yang berbeda. Yang mengkhawatirkan, pemangkasan itu justru dilakukan oleh sebuah lembaga ekstra-yudisial yang memiliki keistimewaan mengingat putusan mereka yang bersifat final. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbentuk beberapa tahun lalu juga tak luput dari upaya pembubaran, atau paling kurang pengkerdilan. Lembaga superbody yang perlahanlahan menunjukan tajinya itu kerap digugat oleh para pihak yang sedang diproses KPK.
Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) adalah salah satu pihak yang telah mengajukan gugatan judicial review UU No 30 Tahun 2003 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi. MHI menganggap UU tentang KPK telah melanggar UUD. Mengingat pasal-pasal yang krusial terkait dengan kewenangan KPK yang ingin dibatalkan melalui mekanisme judicial review, bisa dibilang langkah itu merupakan upaya untuk mengebiri KPK. Yang cukup mengkhawatirkan, upaya-upaya perlawanan terhadap pemberantasan korupsi ini menggunakan jalur hukum sebagai pendekatan, melalui gugatan judicial review kepada MK. Persoalannya adalah, kecenderungan putusan yang dibuat oleh MK dalam mengkaji gugatan, terutama yang diajukan terhadap institusi superbody seperti KY dan KPK menunjukan kecenderungan negatif. Bisa jadi cara seperti ini akan selalu ditempuh oleh siapapun yang tidak diuntungkan oleh agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan, dengan bekal banyaknya celah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar terbentuknya lembaga-lembaga antikorupsi baru.
DPR sebagai penyusun legislasi tidak bisa tidak merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas munculnya banyak celah hukum. Bagaimanapun, hukum adalah produk politik. Semua rumusan mengenai peraturan yang melahirkan lembaga-lembaga antikorupsi baru seperti KY dan KPK dibawah kendali sepenuhnya DPR. Tak dapat dipungkiri, DPR merupakan lembaga yang rentan dengan intervensi kepentingan. Produk hukum mencerminkan sikap politik DPR terhadap situasi tertentu. Dalam konteks pemberantasan korupsi, agaknya dukungan politik dari DPR tidak terlalu menggembirakan. Banyaknya celah peraturan yang menaungi kehadiran lembaga antikorupsi baru menunjukan sebagian dari sikap itu. Belum lagi tiadanya keinginan untuk mengadopsi beberapa regulasi yang progresif untuk pemberantasan korupsi. Yang terbaru, justru Panitia Kerja (Panja) Gabungan Komisi II dan Komisi II yang membawahi Pemerintahan Daerah dan penegakan hukum menyusun rekomendasi yang konyol. Sikap politik DPR yang meminta adanya rehabilitasi nama baik anggota DPRD yang didakwa korupsi jelas-jelas merupakan bentuk intervensi politik atas hukum. Usaha seperti ini tidak hanya akan menyurutkan langkah pemberantasan korupsi, lebih jauh dari itu merupakan jalan baru bagi politisi yang terlibat kasus korupsi untuk mendapatkan proteksi politik.
Gerakan untuk menggerus agenda pemberantasan korupsi nyatanya juga secara tidak langsung didukung institusi yudisial. Bebasnya DL Sitorus di Pengadilan Tinggi Jakarta –yang sebelumnya telah divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat- menambah daftar pelaku korupsi yang dibebaskan. Dalam catatan ICW sepanjang tahun 2006 ini, terdapat 17 perkara korupsi yang pelakunya dibebaskan oleh pengadilan, baik di tingkat pertama maupun banding. Lazimnya sebuah kasus pidana, jika aparat penyidik dan penuntut sudah membawa ke pengadilan, peluang untuk lolosnya sangat kecil. Akan tetapi, akrobat di pengadilan kerap melahirkan kejutan-kejutan. Tak heran jika tuduhan masih bercokolnya mafia peradilan bukan sesuatu yang mengada-ada. Minimnya usaha dan dukungan yang serius dari ketiga wilayah kekuasaan dan cabangcabangnya yang baru, seperti MK dalam memberantas korupsi pada akhirnya hanya akan membuka kesempatan bagi siapapun yang merasa dirugikan atas agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan. Jika perlawanan terhadap gerakan antikorupsi berhasil, dapat dipastikan hal itu akan mematikan nadi pemberantasan korupsi yang sedang berdetak.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sistem peradilan pidana Indonesia dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan gagal total memerangi korupsi dan tidak dapat diharapkan untuk memerangi korupsi. Karena mereka justru terlibat dan terbuai oleh korupsi. Korupsi sudah merupakan penyakit yang kronis hampir di setiap institusi pemerintah hingga disebut dengan extra ordinary crime. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang super body memerangi korupsi di Indonesia. Namun, sayangnya lembaga super body yang ada seperti KPK tidak didukung oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehinga kesendirian dan kesepian. Instansi yang seharusnya memerangi korupsi hanya jadi penonton belaka dan tidak berusaha memperbaiki diri. Sedangka lembaga negara lainnya masih terus terbuai dengan korupsi.
Dalam melaksanakan perannya memerangi korupsi, KPK masih diskriminatif karena tidak adanya kemauan di tingkat kekuasaan, kecuali kepura-puraan. Bahkan tanpa rasa malu tak jarang koruptor dilindungi dengan kekuasaan dengan cara-cara invisible hand. Di samping, tidak adanya keinginan untuk memanfaatkan momen untuk memperbaiki sistem masing-masing instansi walaupun sudah dipertontonkan fakta demi fakta oleh KPK. Hal ini terbukti tidak dilakukannya pergantian pimpinan institusi di bidang penegakan hukum. Bukankah kita dapat melihat pergantian pucuk pimpinan Kepolisian berhasil memperbaiki kinerja, citra, pengayoman, perlindungan dan pelayanan masyarakat.
Dari beberapa fakta sejarah kejatuhan beberapa presiden terdahulu karena masyarakat melihat bahwa perang melawan korupsi yang dicanangkan hanya retorika belaka/angin surga sehingga hilangnya simpati masyarakat yang mengimpikan negara yang bersih, pelayan umum yang baik dan terbebas dari praktek korupsi. Hal ini mengakibatkan pil pahit dan terasa sakit bagi presiden terdahulu. Akan kah pisang berbuah dua kali?, akan kah keledai akan terperosok pada lobang yang sama untuk kedua kali?, jawabannya dapat kita lihat langkah nyata yang akan dilakukan oleh pucuk pimpinan negara tercinta ini.

DAFTAR PUSTAKA
Farouk Muhammad. Reformasi Sistem Peradilan Pidana. Aspek Kepolisian. BPHN-UNSRI, Sumatra Selatan.
http://pengelolaan keuangan.wordpress.com
Republika, 9 Desember 2005
Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Undang-undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar