A.
Pendahuluan
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang
sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak
ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari
penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena
korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan
ruang wilayah.
Di
satu pihak, fungsi KPK, sebagai lembaga Super Body institusi penegak
hukum kejahatan korupsi telah mendapatkan pembenaran juridis. Sehingga
kehadiran KPK, umumnya cenderung menimbulkan kontorversial dalam praktek
penegakan hukum kejahatan korupsi di tingkat lapangan. Terutama, adanya kesan
tebang pilih yang tidak dapat dihilangkan jejaknya. Di pihak lain, peran institusi penegak hukum,
seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan merasa terkurangi. Sebab, dalam
waktu lalu merupakan kewenangan bersama polisi, jaksa dan pengadilan umum. Akan
tetapi, sejak keluarnya UU No.31/2002, kejahatan korupsi, dalam ukuran tertentu
(di atas 1 miliar) merupakan jurisdiksi kompetensi KPK. Sehingga, pihak
kepolisian, yang merupakan pintu gerbang proses penyelidikan dan penyidikan
dalam penegakan hukum dalam tindak pelanggaran dan kejahatan, termasuk
kejahatan korupsi menjadi amat terkurangi. Dalam kejahatan korupsi tertentu,
polisi tidak dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan di tingkat lapangan,
menempatkan situasi kontra-produktif bagi citra kepolisian. Ketidak wenangan
polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kejahatan korupsi di
tingkat kabupaten atau kotamadya, terkadang membuat masyarakat lokal begitu
mudah mendiskreditkan peran penegak hukum, khususnya pihak kepolisian.
Di Indonesia Korupsi dikenal dengan istilah KKN
singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah
penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah
hingga tingkatan yang paling tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan
sebagai penggunaan fasiltas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara
melawan hukum.
Usaha
penanggulangan tindak pidana korupsi yang lain sangat sulit untuk dilakukan,
meskipun telah diupayakan suatu prioritas terhadap penanganan perkara jenis
ini. Dikemukakan dalam kongres PBB VII mengenai Tahune Prevention of Crime
and Treatment of Offders tahun 1980, bahwa aparat penegak hukum relatif
tidak berdaya atau tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi jenis tindak
pidana ini. Ini dikarenakan dua hal, yakni:
a)
Kedudukan ekonomi atau politik yang kuat dari pelaku (tahune
high economic or political status of tahune perpetrators).
b)
Keadaan disekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa
sehingga mengurangi kemungkunan mereka untuk dilaporkan (and tahune circum
tence under which tahune had been commited were such as to decrease tahune
likelihoodof tahuneir being report prosecuted).
Berdasakan laporan tahunan dari lembaga
internasional ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang
bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di
dunia dalam hasil surveinya tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga
terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya. Sedangkan Pada tahun
2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia.
Transparansi Internasional menempatkan Indonesia sebagai negara sepuluh besar
yang terkorup didunia dalam hasil surveynya.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru dan
menjadi endemik yang sangat lama semenjak pemerintahan Suharto dari tahun 1965
hingga tahun 1997. Penyebab utamanya karena gaji pegawai negeri dibawah standar
hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang lemah. Secara sistematik telah
diciptakan suatu kondisi, baik disadari atau tidak dimana gaji satu bulan hanya
cukup untuk satu atau dua minggu. Disamping lemahnya sistem pengawasan yang ada
memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para
pegawai negeri untuk mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik
untuk kepentingan pribadi walau dengan cara melawan hukum.
Selain itu, sistem peradilan pidana Indonesia
tidak berjalan efektif untuk memerangi korupsi. Sehingga pelaku korupsi
terbebas dari jeratan hukum. Menurut Bank Dunia bahwa korupsi di Indonesia
terjadi dimana-mana di berbagai level golongan pegawai negeri sipil, tentara,
polisi dan politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan seperti
Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya
bertugas untuk memberantas korupsi.
Kejadian tersebut di atas menyebabkan protes
dan penolakan dari masyarakat luas terhadap pemerintahan Suharto maupun para
penggantinya. Adanya korupsi dimana-mana dan timbulnya perasaan jengkel karena
keadilan yang dinantikan masyarakat tak kunjung tiba, ditambah lagi keadaan ekonomi
rakyat kian parah. Indonesia Corruption Watch mengemukakan bahwa hal tersebut
di atas menghasilkan krisis ekonomi di Indonesia yang berujung dengan kejatuhan
rezim Suharto.
Reformasi nasional tahun 1998 yang berhasil
menjatuhkan pemerintahan Suharto pada bulan Mei 1998 tidak serta merta
mengeliminasi korupsi. Walaupun Presiden berikutnya setelah era Suharto
berjanji untuk memerangi korupsi tetapi hanya sedikit sekali kemajuan yang
dicapai untuk memerangi korupsi. Bahkan para presiden pengganti Suharto telah
tercemari skandal korupsi seperti pengumpulan dana politik secara melawan
hukum. Banyak para pejabat negara telah terlibat dalam skandal korupsi termasuk
para pejabat tinggi negara, petinggi Golkar, anggota DPR dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dalam kampanye pemilihan Presiden pada tahun
2004 yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusung dan berjanji untuk
memerangi korupsi sebagai tujuan utamanya. Jawaban untuk memerangi korupsi
merupakan harapan seluruh bangsa Indonesia minus koruptor. Hal inilah yang
menarik pemilih untuk memilihnya dan berhasil mengalahkan Megawati. Sebelumnya
telah di bentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk memerangi korupsi
sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan pidana di
Indonesia. KPK secara resmi dibentuk dengan adanya UU. Nomor 30 tahun 2002 dan
setelah terpilihnya pimpinan dan Ketua KPK pada tanggal 16 Desember 2003.
Sebelum kita membahas peranan KPK dalam memerangi korupsi di Indonesia, kita
akan bahas dulu kondisi pemerintahan di Indonesia.
1.
Pemerintahan
Pemerintahan yang baik adalah suatu
pemerintahan yang berdasarkan hukum, meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas
terhadap pelayanan pada masyarakat dan memerangi korupsi. Pemerintahan yang
baik masih merupakan suatu impian di Indonesia. Kita dapat lihat bagaimana
buruknya pelayanan umum di Indonesia. Masyarakat luas dan bahkan Presiden
Susilo Bambang Yudoyono sendiri sepulang dari Malaysia mengaku malu dan
dipermalukan disuatu forum di Kuala Lumpur karena seorang investor dari
Thailand mengeluhkan aparat imigrasi Indonesia mencari-cari masalah ketika dia
akan berkunjung ke Indonesia. Belum lagi pejuang devisa (TKI danTKW) Indonesia
yang berada didalam dan diluar negeri diperas dan diperdagangkan oleh aparat
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta aparat Imigrasi. Awal tahun
2006, terbongkarnya kasus pembobolan uang negara sebanyak Rp 150 milyar yang
dilakukan pengusaha dengan cara memalsukan dokumen ekspor/faktur bekerjasama
dengan Faisal Siregar, Kepala Kantor dan empat pejabat di Kantor Pelayanan Pajak
dan aparat bea cukai mencairkan restitusi pajak. Hal ini telah mereka lakukan
puluhan tahun yang lalu.
Nampaknya warisan kebobrokan dari pemerintahan
Suharto masih dan mungkin akan terus berlanjut di Indonesia. Walaupun ada juga
sisi positipnya pada waktu pemerintahan Suharto seperti stabilitas dan keamanan
tetap terjamin pada waktu itu, tidak ada kelangkaan dan kenaikan BBM yang
membuat masyarakat sekarat. Selanjutnya, kita akan membahas beberapa institusi
pemerintah yang mempunyai peran penting dan tanggung jawab penuh untuk
memerangi korupsi seperti Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, Partai Politik dan
DPR/Parlemen.
Sistem peradilan di Indonesia adalah salah satu
lembaga yang terkorup yang dikenal dengan mafia peradilannya. Jadi lembaga
negara ini tidak bisa diharapkan untuk memerangi korupsi. Jual beli perkara
terhadap putusan telah terjadi di berbagai tingkat seperti Pengadilan Negeri
(PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan bahkan terhadap benteng utama dan terakhir
penjaga keadilan yaitu Mahkamah Agung (MA). Memahami kebusukan yang terjadi di
peradilan, maka pada tanggal 20 Desember Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mencanangkan reformasi peradilan di MA. Acara ini dihadiri oleh seluruh unsur
pimpinan MA, hakim agung, seluruh ketua pengadilan tingkat pertama, banding,
pejabat tinggi lainnya dan wakil dari negara sahabat. Belum lagi hilang dari
ingatan gong reformasi peradilan dicanangkan, terjadi pemerasan yang dilakukan
oleh Mathius B Situru, Panitia Pengganti di PN Jakarta Pusat dengan cara memperlambat
pemberian salinan putusan dan meminta uang agar salinan baru bisa diberikan.
Kemudian, Jammes Darsan Tony dan komplotannya (Peneliti di Litbang dan staf di
MA) sedangkan panitera pengganti dan hakim PN Jakarta Selatan memeras saksi
dalam kasus korupsi P.T. Jamsostek. Kasus ini menyebabkan ditetapkan tersangka dan
ditahannya panitera pengganti, Andrian Jimmy Lumanauw dan Hakim Herman
Alossitandi, Ketua Majelis Hakim perkar P.T. Jamsostek. Sebelumnya, penangkapan
advokat Syafiudin Popon, Ramdhan Rizal dan M. Sholeh, dua panitera PT Jakarta.
Kasus Probo Sutedjo yang melibatkan uang milyaran rupiah dengan tersangka
pengacara Harini Wijoso, pagawai MA, jaksa, hakim bahkan melibatkan Hakim
Agung. Belum lagi banyaknya kasus illegal logging dan hutang terhadap negara
yang dikalahkan oleh pengadilan. Nampaknya transaksi uang dalam dunia peradilan
menunjukkan bahwa mafia peradilan memperdagangkan hukum dan kewenangan adalah
realitas yang tak perlu dibantah lagi. Hal tersebut membuat masyarakat curiga
dan tidak menghormati lembaga peradilan. Sulit untuk membuat masyarakat percaya
bahwa peradilan adalah tempat untuk mencari keadilan dan tidak memihak. Kalau
kita lihat fakta-fakta dan khususnya terhadap korupsi yang dilakukan oleh
mantan presiden Suharto, keluarga, para pejabat seperti mantan Jaksa Agung M
Rachman, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita, kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) seperti Syamsul Nursalim, Samadikun Hartono, Agus Anwar,
Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Eko Adi putranto, Sherny Konjongiang,
David Nusa Wijaya, Sudjiono Timan dan Prayogo Pangestu.
Disadari bahwa gaji para hakim pada umumnya
rendah dibanding dengan kekuasaan yang mereka miliki. Sebagai contoh seorang
yang baru diterima sebagai hakim hanya menerima gaji lebih kurang dua juta
rupiah. Namun, dari awal yang bersangkutan memulai karir sebagai hakim, mereka
didorong untuk melakukan praktek korupsi karena harus bermodal dulu untuk
menjadi hakim. Bukan rahasia umum bahwa untuk diterima menjadi hakim, mereka
harus memberikan uang sogokan yang besar. Bahkan dalam seleksi hakim agung pun
telah beredar kabar isu suap dikalangan DPR. Begitu juga halnya dengan
Kejaksaan, merupakan lembaga yang sering mendapat tudingan yang sama. Disamping
itu dalam hal penganan beberapa kasus Kejaksaan Agung cenderung bertindak
diskriminatif, seperti Kasus Dana Abadi Umat (DAU) hanya difokuskan kepada Said
Agil Husin Al Munawar (mantan Menteri Agama) diputus 5 tahun oleh pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Taufik Kami (Direktur Jenderal di Departeman
Agama) dan empat auditor Badan Pemeriklasaan Keuangan (BPK). Sedangkan dalam
sidang dan surat dakwaan terungkap aliran dana kepada Sekretaris Jenderal BPK,
membiayai anggota Komisi VI DPR untuk memantau penyelenggaraan haji, dan
pendidikan hakim agama ke Mesir tidak diusut sama sekali.
Berbagai reformasi telah dilakukan untuk
memperbaiki sistem peradilan. Telah beberapa hal yang dilakukan untuk
mereformasi MA dan pengadilan di Jakarta dengan berbagai mutasi. Bahkan mantan
Presiden Gus Dur (1999-2001), walaupun ditentang oleh DPR pada saat itu atas
calon yang diusulkan untuk Ketua dan Wakil ketua MA. Reformasi di MA dengan
menggantikan separuh hakim karir dengan profesional yang bersih dari korupsi.
Untuk mengatasi masalah tersebut diatas dalam
rangka mengawasi perilaku para hakim telah dibentuk Komisi Yudisial (KY) pada
tanggal 8 Juni 2005 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang KY.
Para hakim mulai diawasi oleh KY semenjak Presiden melantik tujuh anggotanya
pada tanggal 2 Agustus 2005. Menurut KY bahwa kinerja para hakim masih berada
pada level yang rendah. Hal ini berdasarkan jumlah laporan masyarakat yang
telah mencapai 400 laporan semenjak Komisi Judisial bekerja lebih kuran 3
hingga 4 bulan. Dari jumlah tersebut 37 laporan telah selesai diperiksa dan
sebagaian besar telah menghasilkan rekomendasi tentang adanya pelanggaran kode
etik oleh para hakim. Namun, laporan dari KY belum diperhatikan oleh MA. Komisi
Yudisial juga mengusulkan untuk melakukan seleksi ulang terhadap 49 hakim agung
yang ada di MA. Karena Menurut Busyro Muqodas, Ketua Mahkamah Yudisial bahwa MA
merupakan puncak dari peradilan di Indonesia, sementara kasus-kasus suap yang
terjadi di MA merupakan representasi dari lemahnya manajemen serta kepemimpinan
di MA.
Nampaknya, usulan seleksi ulang hakim agung
mendapat tanggapan positif dari presiden Susilo Bambang Yuoyono, bahkan telah
memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk men-drive tentang usulan dari KY.
Praktisi hukum, Adnan Buyung Nasution ikut mendukung usulan KY tersebut. Usulan
KY merupakan revolusi besar di badan peradilan dan didukung oleh politisi dari
Ketua DPR, Fraksi PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera. Namun, usulan seleksi ulang
hakim agung tersebut ditentang keras oleh Ikatan Hakim Indonesia dengan alasan
pelecehan terhadap 49 hakim agung dan anggota DPR yang menyeleksi mereka.
Penolakan seleksi ulang ini menimbulkan kecaman dari Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta. Pada saat bersamaan Wakil Ketua DPR, Zainal Ma’rif menyarankan
sebaiknya Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(PERPU) sebagai dasar untuk menyeleksi ulang 49 hakim agung.
Kondisi peradilan di Indonesia betul-betul
hancur dan pada titik yang paling rendah dan tidak bisa diharapkan oleh
masyarakat yang ingin mencari keadilan. Ini berarti negara hukum di Indonesia
hanyalah ilusi belaka, bilamana lembaga peradilan tidak dibenahi. Praktik
korupsi dan mafia peradilan di Indonesia sudah dalam kondidsi yang darurat.
Untuk membersihkan peradilan harus dilakukan dengan cara yang luar bisa seperti
dengan PERPU untuk menyeleksi ulang hakim agung di MA. Pemberantasan teroris
yang hanya menimbulkan korban 180 dilakukan dengan PERPU, maka koruptor juga
perlu diatasi dengan PERPU, karena koruptor di peradilan telah meluluh lantakan
citra negara hukum, memiskinkan rakyat dan menghancurkan perekonomian bangsa.
Belum selesai gonjang ganjing usulan Komisi
untuk menguji ulang Hakim Agung, terbongkar bahwa secara diam-diam, Bagir
Manan, Ketua MA dengan SK Nomor KMA/119/SK/VI/2005 pada 20 Juni 2005, memperpanjang
usia pensiun dirinya dan sembilan Hakim Agung (Susanti Adi Nugroho, Titiek
Nurmala Siagian, M Bahaudin Qoudry, Parman Suparman, Kaimuddin Salle, Iskandar
Kamil, Sudarno, dan German Hoediarto). Hal ini mengundang kritik dari berbagai
pihak, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun akdemisi. Karena dalam Pasal
13 Undang-undang No 22 tahun 2004 tetang KY diatur, bahwa kewenangan KY adalah
mengusulkan Hakim Agung. Selanjutnya Pasal 14 menyatakan dalam hal berakhir
masa jabatan Hakim Agung, MA menyampaikan kepada KY daftar nama Hakim Agung
yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan sebelum berkahirnya
masa jabatan tersebut. Disamping itu dalam pertimbangan perpanjangan pensiun
disebut para hakim yang diperpanjang mempunyai
prestasi kerja yang luar bisa. Sebaiknya di uji ulang para Hakim Agung
dan diganti ketua maupun wakil ketuanya. Lagi-lagi masyarakat Indonesia
dikejutkan dan dikecewakan dengan putusan Hakim PN Jakarta Selatan yang
memvonis bebas mantan Direksi Bank Mandiri, ECW Neloe, Iwayan Pugeg dan Sholeh
Taspiran, yang kemudian diikuti dengan vonis bebas direksi PT CGN, yakni
Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan.
Ada perkembangan terakhir yang menarik terhadap
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilantik Presiden pada bulan Juli 2004
berdasarkan UU. No 30 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Putusan majelis
hakim Pengadilan Tipikor membuat gentar dan menciutkan nyali para pelaku
korupsi. Beberapa terdakwa korupsi yang mencoba mencari keadilan ke tingkat
pengadilan yang lebih tinggi justru mendapatkan hukuman lebih berat. Sebagai
contoh Abdullah Puteh, mantan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, pada pengadilan
tingkat pertama dihukum 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan
kurungan serta membayar ganti rugi Rp3.687 miliar. Pada putusan banding
menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan menyebabkan tertangkap tangan
Tengku Safiudin Popon, salah seorang pengacaranya dan panitera PT DKI Jakarta
Ramadhan Rizal, beserta uang suap Rp 250 juta. MA menjatuhkan hukuman 10 tahun
dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan serta uang pengganti sebesar Rp 6.654
miliar. Apabila tidak dilaksanakan Jaksa penuntut umum diperintahkan menyita
harta benda Puteh. Nasib yang sama dialami juga oleh Muhammad Harun Let Leta,
mantan Kepala Bagian Keuangan Dirjen Hubungan Laut dan Tarsisius Walla, mantan
Sekretaris Dirjen Perhubungan laut.
Fenomena baru ini menyebabkan terpidana korupsi
yang kasusnya ditangani KPK kecut dan gentar untuk mengajukan banding terhadap
vonis pengadilan Tipikor. Sehingga Mulyana W Kusuma yang telah memasukkan
memori banding mengurungkan niatnya dan mencabut memori banding dari PN Jakarta
Pusat. Sikap ini pun diikuti oleh Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU,
Susongko Suhardjo, Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal KPU. Hal ini dilain
pihak dapat mendorong membangun keyakinan pencari keadilan, yang percaya bahwa
putusan di Pengadilan Tipikor memenuhi rasa keadilan dan kinerja pengadilan
korupsi baik. Tapi bukan berarti gejala ini menandai hilangnya mafia peradilan
secara keseluruhan. Untuk itu diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk terus
memberikan perhatian dan pengawasan pada Pengadilan Tipikor dan peradilan pada
umumnya.
3.
Kepolisian
Selama ini kepolisian berada dalam angkatan
bersenjata, namun telah mandiri semenjak tahun 2000, dalam rangka untuk
memperkuat fungsi menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat. Seperti peradilan,
kepolisian mengalami krisis kepercayaan dimata masyarakat. Korupsi yang
berkembang dilembaga kepolisian dari hal yang terkecil seperti pengurusan Surat
Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, pelanggaran lalu lintas, hingga
illegal logging, perjudian, pencurian, bisnis narkoba dan obat bius,
penjambretan, perampokan, penyelundupan pasir timah, BBM, kendaraan bermotor
sudah biasa dilakukan oleh aparat kepolisian dari pangkat yang paling rendah
hingga pangkat yang tinggi. Masyarakat yang mengalami tindak kejahatan memilih
untuk tidak melaporkan ke polisi karena adanya rasa takut dari masyarakat
disebabkan prosesnya berbelit-belit, makan waktu dan bisa jadi megalami
pemerasan oleh polisi.
Hal tersebut terjadi dilingkungan kepolisian
karena para polisi yang melakukan tindak kriminal bisa berkelit dan tidak ada
suatu lembaga yang mengawasi para polisi. Dengan demikian, seperti peradilan
kepolisian bukanlah merupakan lembaga yang bisa diharapkan untuk memerangi
korupsi karena di dalam lembaga kepolisian sendiri penuh dengan korupsi. Bahkan
pada kenyataannya banyak aparat kepolisian yang terlibat dalam perjudian
ilegal, premanisme dan pelacuran di seluruh wilayah Indonesia.
Kondisi yang tidak kondusif di lingkungan
kepolisian di atas mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil
langkah mengganti pucuk pimpinan kepolisian, disamping karena dituntut untuk
mengatasi masalah kelangkaan BBM dikarenakan ulah penyelundup, penimbun dan
pengoblos. Kelangkaan BBM sudah pada tingkat meresahkan masyarakat dan membuat
masyarakat panik. Kemudian, Presiden dalam pidato pelantikan Jenderal Sutanto
sebagai Kapolri baru menekankan tugas polisi untuk memerangi korupsi,
perjudian, kejahatan jalanan serta menyelesaikan masalah-masalah didaerah.
Kapolri Sutanto dalam paparannya di depan DPR mengakui wajah Polri masih jauh
dari harapan masyarakat. Bahkan dia menegaskan bahwa aparat penegak keamanan
yang berwatak sipil yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyakat masih
sebatas cita-cita. Dia juga menambahkan bahwa dimata masyarakat sosok polisi
masih tampil arogan, senang menggunakan kekerasan, diskriminatif, tidak responsif,
dan belum profesional. Sehari setelah pelantikannya, dia memerintahkan
jajarannya untuk melakukan razia dan penutupan tempat-tempat perjudian dan
peredaran gelap narkoba.
Di bawah kepemimpinan Jenderal Sutanto, David
Nusa Widjaya, terpidana delapan tahun dalam kasus pembobolan Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) yang melarikan diri ditangkap Tim Pemburu Koruptor di San
Fransisco, Amerika. Teroris bisa ditumpas dengan tertembaknya tokoh utama
teroris Indonesia Dr. Azhari dan tertangkapnya beberapa anggota teroris.
Kemudian perjudian kian menyusut di masyarakat. Begitu juga dengan premanisme
kian berkurang karena sikap tegas pucuk pimpinan kepolisian. Pemberantasan
Narkoba melaju dengan luar biasa dengan tertangkapnya para produsen dan tempat
pembuatan narkoba di beberapa kota di Indonesia. Selanjutnya penindakan perwira
dilingkungan aparat kepolisian yang nakal mampu menyentuh perwira tinggi. Dalam
waktu tidak terlalu lama Kapolri melakukan pergantian terhadap pejabat Polri
yang diduga bermasalah yaitu Kapolwil Bogor, Kombes Bambang Wasgito, Kombes
Ciptono dan Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisari Jenderal Binarto yang
diduga memberi perintah kepada Komisari Besar Toni Suhartono Kasat Polairud
Polda Jatim dalam kasus pelepasan kapal tongkan pengangkut 100 ton solar
selundupan.
Kasus yang terbaru yang terjadi yaitu
keterlibatan beberapa Jenderal Markas Besar Kepolisian dalam kasus penyidikan
BNI. Karena tersangka kasus pembobolan BNI sebanyak Rp1.7 triliun menyebutkan
adanya tiga jenderal yang terlibat. Sehingga ditetapkan sebagai tersangka dan
ditahannya Komisaris Jenderal Suyitno Landung, mantan Kepala Badan Reserse dan
Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Kabareskrim Mabes POLRI),
Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, mantan Direktur Ekonomis Khusus pada Bareskrim
Mabes Polri, Komisari polisi Irman Santoso, mantan Kanit II Perbankan
Direktorat Ekonomi Khusus Bareskrim dan 16 penyidik di Mabes Polri yang
terlibat. Namun, hal tersebut tidak membuat jera para polisi untuk melakukan
penyimpangan dimana satu perwira pertama dan dua bintara Polisi Sektor
Setiabudi Jakarta menggelapkan barang bukti sebesar 100.000 (seratus ribu) US
dolar juta dari kasus yang ditanganinya, membuat geger Polisi Daerah Metro
Jaya, dan polisinya sudah diproses.
Walaupun demikian terobosan yang dilakukan
pihak kepolisian terhadap debitor nakal BLBI tanpa melalui proses hukum akan
menjadi preseden buruk bagi koruptor lain. Alasan pemerintah dengan mengatakan
mereka debitor kooperatif tidak bisa diterima dengan akal sehat, karena mereka
melarikan uang bertahun-tahun keluar negeri dan menyebakan krisis ekonomi tahun
1998. Kedatangan ketiga debitor bernama James Januardi, Ulung Bursa dan Lukman
Astanto yang mewakili Atang Latief ke Istana Presiden yang diakui oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia merupakan tanggung jawabnya menimbulkan banyak
kecurigaan dan tanda tanya. Menurut mantan Ketua MPR Amien Rais, dulu waktu
Tommy Soeharto bertemu Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) di Hotel Borobudur saja,
orang gempar. Padahal pertemuan di tempat netral. Bayangkan, sekarang tiga
konglomerat hitam masuk ke pusat kekuasaan. Artinya, ada orang-orang yang
menjadi fasilitator. Pihak kepolisian sangat diskriminatif dalam menangani
perkara korupsi. Karena koruptor kasus kecil langsung diproses hukum. Tapi,
yang merugikan negara hingga triliunan rupiah bisa dimaklumi dengan alasan ada
niat mengembalikan uang ke kas negara. Kalau yang kasusnya besar sampai
triliunan, niat mengembalikan dulu baru proses hukum. Tapi, yang kecil-kecil
langsung diproses hukum. Dengan kedatangan ketiga pengemplang BLBI yang diantar
oleh pejabat Kepolisian yang berbintang itu bisa merusak citra lembaga
kepresidenan.
Alasan yang diberikan Jaksa Agung bahwa
mekanisme penyelesaian perkara BLBI sudah jelas karena ditangani oleh tiga
Presiden dan Presiden Yudhoyono hanya melanjutkan saja kebijakan yanga ada
bahwa mereka yang kooperatif memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) dan
selanjutnya Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3), adalah sangat bertententangan dengan azas hukum pidana bahwa
pengembalian dana BLBI tidak menghapuskan perbuatan pidana oleh pelaku BLBI.
Sebaliknya tindakan dan keberanian Jenderal
Sutanto membersihkan institusi kepolisian dari pelaku korupsi sebelum menata
perilaku masyarakat, merupakan suatu tindakan nyata yang patut didukung oleh
segenap masyarakat yang telah lama mengimpikan mempunyai aparat penegak
keamanan yang berwatak sipil yang melindungi, mengayomi, dan melayani
masyarakat. Hal ini ternyata membawa angin segar dalam merebut kembali citra
institusi yang dipimpinnya. Diharapakan pembenahan di kepolisian terus
membersihkan, memperbaiki diri dan meningkatkan peningkatan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Usaha untuk membangun Kepala Polisi Republik
Indonesia menjadi institusi penegak keamanan yang berwatak sipil, melindungi,
mengayomi, dan melayani masayarakat menjadi pudar setelah terbongkarnya kasus
pengintelan yang dilakukan aparat intel Polisi Daerah Metro Jaya terhadap
anggota DPR-RI dari Fraksi PKS dan Fraksi PDI-F yang ingin mengawasi proses
impor beras yang dilakukan oleh pemerintah dari negara Vietnam. Hal ini
merupakan cara-cara yang keji dan kotor Orde Baru dalam melibas lawan politik.
Sudah barang tentu melewati dan menyalahi tugas serta kewenangan dan juga penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) yang serius. Sayangnya penyelesaian masalah ini
berakibat Kombespol Sukamto Handoko, direktur Intelkam Polda Metro Jaya,
dicopot dari jabatannya. Padahal seharusnya ada pihak yang lebih tinggi perlu
dimintai pertanggung jawabannya.
4.
Partai Politik
dan Parlemen
Partai politik dapat diartikan sebagai alat
untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Pada zaman
Suharto, partai politik dibatasi hanya tiga partai dimana GOLKAR yang
mendominasi pemilihan umum dan partai lainnya hanya sebagai pelengkap atau
peramai serta tidak mempunyai peran apa-apa. Dengan adanya gelombang reformasi
bulan Mei 1998, maka terjadilah perubahan yang revolusioner dalam bidang
ketatanegaraan dan perubahan undang-undang tentang partai politik. Hal ini
memberikan kebebasan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum
dan mendirikan partai politik. Tingginya harapan masyarakat terhadap peranan
partai politik dan meningkatnya demokrasi dilengkapi dengan transparansi, negara
hukum dan akuntabilitas.
Sayangnya partai yang besar anggotanya masih
didominasi oleh orang-orang yang karirnya dan besarnya dari dalam lingkungan
orde baru. Mereka terdiri dari mantat birokrat, mantan pengurus GOLKAR,
pensiunan militer dan polisi begitu juga dalam bidang bisnis dan politik. Momen
reformasi yang yang berhasil mendudukkan PDI-P menjadi mayoritas di parlemen
dan Ketua Umumnya, Megawati berhasil menjadi Presiden Indonesia yang ke empat
tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memerangi korupsi. Bahkan Partai Golkar
yang dulunya merupakan GOLKAR telah menjadi partai terbesar yang mendapat kursi
di parlemen pada pemilihan umum anggota DPR tahun 2004. Partai-partai besar
sudah dikenal masyarakat luas terlibat dalam money politik dari pusat hingga ke
daerah.
Media massa maupun Indonesian Corruption Watch
telah memberitakan bahwa mayoritas anggota DPR dari berbagai partai telah
menerima suap dari lembaga pemerintah dan sektor swasta untuk menentukan atau
memasukkan anggaran. Lebih lanjut komisi tertentu di DPR yang berhubungan
dengan anggaran dan pembangunan merupakan tempat basah yang bisa terjadinya
transaksi suap untuk meluluskan anggaran. Masih ingat bahwa tiga anggota DPR RI
dikenai sanksi oleh Badan Kehormatan (BK) DPR karena terlibat percaloan proyek
dana bencana alam yang dianggarkan pemerintah tapi mereka hanya dikenakan
sanksi ditarik oleh fraksinya dari anggota Panitia Anggaran DPR. Pemborosan
uang rakyat yang dilakukan 15 orang anggota DPR RI yaitu melakukan kunjungan
mubazir ke mesir dengan kedok studi banding tentang perjudian mencengangkan
rakyat karena diberbagai tempat rakyat Indonesia sedang ditimpa musibah gempa,
Tsunami yang belum selesai penanggulannya dan shock karena kenaikan BBM yang
lebih dari 100 persen.
Dalam hasil survei yang dilakukan Gallup
International yang dilansir oleh Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Transparancy
International Indonesia, dalam rangka memperingati hari anti korupsi bahwa
partai politik merupakan lembaga terkorup sedangkan parlemen/DPR di Indonesia
menjadi lembaga terkorup kedua bersama polisi dan bea cukai. Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) tidak kalah bersaing dalam mengikuti jejak DPR RI
melakukan money politik dan korupsi. Bahkan beberapa DPRD bersama-sama dengan
pemerintah daerah menjual aset pemerintah daerah ke pihak swasta dengan harga
dibawa standar (Nilai Jual Objek Pajak) begitu juga korupsi berjemaah yang
dilakukan dalam menggunakan dana operasional. Jual beli suara dalam pemilihan
kepala daerah telah dilakukan dari dahulu. Namun, hal ini telah berubah
semenjak diadakannya pemilihan langsung terhadap kepala daerah.
Pada kenyataannya partai politik, DPRD dan
DPRRI lembaga negara yang paling sarat dengan korupsi dan money politic
dibanding dengan institusi lainnya. Hal inipun diakui oleh Jusuf Kalla, Agung
Laksono yang merasa malu bahwa dua lembaga yang dipimpinnya oleh hasil survei
yang dilansir Transparancy Internasinal Indonesia dinyatakan sebagai lembaga terkorup
rangking satu dan dua. Untuk itu diperlukan perhatian khusus oleh pemerintah
maupun lembaga swadaya masyarakat yang punya akuntabilitas untuk terus
mengawasi dan mencemati partai politik dan parlemen.
B.
Sistem Hukum Terkait Kejahatan Korupsi
Kejahatan
korupsi yang semula dipandang sebagai kajahatan biasa (Ordinary Crime),
masyarakat internasional saat ini, sepakat untuk menempatkan kejahatan korupsi
sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Keadaan luar biasa
tersebut meniscayakan adanya tindakan dan penanganan secara luar biasa pula.
Namun, penanganan yang luar biasa tidaklah berarti dapat keluar dari koridor the
rule of law. Asas-asas hukum yang selama ini telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari sistem pemidanaan yang berkeadilan harus tetap dapat
diberlakukan.
Dalam
perspektif hukum nasional paska reformasi, UU No 31 tahun 1999, tentang Tindak
Pidana Korupsi rumusan kejahatan korupsi lebih komprehensif. Kejahatan korupsi
dipandang, sebagai setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Secara substansif, pasal tersebut mengandung
perbuatan seseorang, baik aparat pemerintah atau bukan, tetapi perbuatan yang
menyalahi kewenangan tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat
berakibat timbulnya kerugian negara.
Seiring dengan
itu, Muhammad Faraouk dalam kajiannya menyebutkan bahwa bentuk bentuk korupsi
ke dalam dua sifat.(1) general dengan misal: merajalela dimana-mana, relatif
terbuka (mudah diketahui), menyangkut publik (banyak orang), dengan jumla uang
yang relatif kecil serta pada umumnya melibatkan pegawai/pejabat rendahan dan
didorong oleh kebutuhan primer baik pribadi maupun institusi. (2)
Spesifik/terbatas: hanya pada kesempatan/menyangut kasus tertentu (eksklusif),
relatif tertutup dengan modus yang canggih (sulit dibuktikan), melibatkan orang
tertentu (bisnis) dan pejabat yang berwewenang yang lebih tinggi dengan jumlah
uang yang relatif besar dan biasanya lebih didorong oleh kesepakatan dari pada
primer (Faoruk Muhammad, 2007: 5).
Seiring dengan
itu Romli Atmasasmita, sebagai pakar hukum pidana internasional menegaskan
bahwa strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan empat (4)
pendekatan yaitu pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan,
pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural. Begitu kompleksnya penyebab
kejahatan korupsi, maka pembenrantasan korupsi dengan pendekatan konvensional
dipandang sudah tidak relevan lagi. Sehingga modus operasi tindak pidana
korupsi dalam sistem hukum pidana kita harus dijadikan suatu kejahatan luar
biasa (Extra Ordinary Crimes). Sebab, upaya mendahulukan kepentingan
bangsa dan negara dalam upaya memerangi kejahatan korupsi merupakan bentuk
kewajiban negara untuk memenuhi tuntutan hak-hak asasi sosial ekonomi masyarakat
sebagaimana dikemukakan oleh pasal 29 Deklarasi PBB (Romli Atmasasmita, 2004:
13).
C.
Tantangan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terkait UU
Terkait dengan
sistem hukum penanggulangan tindak pidana kejahatan korupsi, keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi telah menjadi ikon nasional dan internasional di
Indonesia. Bilamana pada masa lalu, ketentuan normatif mengenai pemberantasan
tindak pidana korupsi telah dipandang kurang lengkap peraturan hukumnya. Oleh
karena ketiadaan lembaga penegak hukum khusus (Special Task Force for
Combating Corrution) menjadi penyebab utama penegakan hukum tindak pidana
korupsi menjadi tidak fektif. Karena itu, urgensi dibentuknya KPK, melalui UU
No 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan
dapat mewujudkan masyarakat yang adil da makmur dsan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Dengan memberikan amanah dan tanggungjawab kepada KPK
untuk melakukan peningkatan pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih
profesional, intensif, tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan negara,
dan juga menghambat pembangunan nasional.
Kedudukan KPK
sebagai institusi hukum yang strategis oleh karena memiliki kewenangan lebih
kredible dan profesional UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pertama, status dan sifat serta kewenangan KPK sebagai
lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen
dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (pasal 3). Kedua, KPK secara khusus
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan korupsi (pasal 4). Ketiga, asas-asas yang dipergunakan KPK dalam
menjalan tugasnya yaitu, kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proporsionalitas. Keempat, kewenangan KPK yang melebihi
penegak hukum konvensional adalah terletak pada pasal enam (6) yaitu KPK
mempunyai tugas, (a) kordinasi dengan instansi yang berwewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instans yang berwewenang
dalam melakukan pemberantasan korupsi (c), melakukan penyelidikan dan
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan
tidakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
D.
Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption
Watch
Menuliskan
pendapatnya tentang KPK di dalam blognya. Berikut ini kutipannya:
Melawan
Pemberantasan Korupsi
Dalam situasi
dimana praktek korupsi yang telah menggurita mulai diberantas, hambatan dan tantangan
untuk melakukannya tidak kecil. Meskipun usaha-usaha serius mulai dibangun, namun
berbagai pihak yang tidak diuntungkan oleh situasi baru akan melawan.
Perlawanan itu tidak sekedar menggunakan satu pendekatan, akan tetapi berbagai
cara dilakukan untuk meredam gerakan pemberantasan korupsi. Apalagi jika
kemudian, dukungan politik untuk memberantas korupsi ternyata tidak terlalu
besar. Paling kurang dukungan politik dari tiga pilar pemerintahan, yakni
eksekutif, legislative maupun yudikatif. Ketiga sektor ini memiliki pengaruh
yang sangat signifikan atas keberhasilan atau kegagalan dalam memberantas
korupsi. Pada mulanya, kesulitan terbesar dalam memberantas korupsi adalah
minimnya perangkat hukum beserta struktur penegakannya yang sudah demikian
hancur. Berbagai peraturan yang telah ada tidak banyak membantu, alih-alih
justru menyulitkan agenda pemberantasan korupsi.
Demikian halnya
dengan aparatur penegak hukum yang tidak cakap. Barangkali ketidakcakapan itu
sebagian besarnya lahir karena mentalitas yang buruk. Hampir tidak ada cermin
yang memantulkan integritas dan akuntabilitas atas kerja-kerja aparat penegak hokum
dalam memberantas korupsi. Yang lebih mengerikan, upaya-upaya penegakan hukum
justru digembosi oleh mereka sendiri. Tak heran jika upaya untuk melibatkan
masyarakat dalam memberantas korupsi pun tidak mudah dilakukan. Meskipun hal
ini merupakan unsur penting bagi upaya untuk menciptakan mekanisme kontrol yang
efektif, ditengah kondisi nyata bahwa kontrol antar dan intra lembaga negara
juga tak luput dari kerusakan yang mengenaskan.
Namun tingginya
sikap apatisme masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum adalah hambatan
tersendiri bagi pelibatan yang lebih besar dalam pemberantasan korupsi.
Mengingat di banyak negara, pembelajaran utama yang bisa dipetik dari usaha
memberantas korupsi yang berhasil adalah hadirnya partisipasi masyarakat
didalamnya. Mengaitkan ketiga hal tersebut dalam agenda pemberantasan korupsi
yang sistematis bukanlah pekerjaan yang mudah. Prioritas perlu dibuat, akan
tetapi pada saat yang bersamaan masyarakat membutuhkan hasil nyata yang cepat.
Hal ini penting untuk membangkitkan kepercayaan mereka atas usaha serius
pemerintah dalam memberantas korupsi. Namun disisi lain usaha itu tersendat karena
tiadanya kondisi yang mendukung pemberantasan korupsi secara penuh. Meskipun
berbagai peraturan baru dirancang, dan berbagai lembaga antikorupsi baru
dibentuk, namun kehadiran mereka rentan dengan penggembosan.
Contoh yang
paling faktual adalah pemangkasan fungsi kontrol Komisi Yudisial (KY) dan penghapusan
pengertian perbuatan melawan hukum secara material dalam UU No. 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam dua sidang
gugatan yang berbeda. Yang mengkhawatirkan, pemangkasan itu justru dilakukan
oleh sebuah lembaga ekstra-yudisial yang memiliki keistimewaan mengingat
putusan mereka yang bersifat final. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
terbentuk beberapa tahun lalu juga tak luput dari upaya pembubaran, atau paling
kurang pengkerdilan. Lembaga superbody yang perlahanlahan menunjukan tajinya
itu kerap digugat oleh para pihak yang sedang diproses KPK.
Masyarakat
Hukum Indonesia (MHI) adalah salah satu pihak yang telah mengajukan gugatan judicial
review UU No 30 Tahun 2003 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi. MHI menganggap UU
tentang KPK telah melanggar UUD. Mengingat pasal-pasal yang krusial terkait
dengan kewenangan KPK yang ingin dibatalkan melalui mekanisme judicial review,
bisa dibilang langkah itu merupakan upaya untuk mengebiri KPK. Yang cukup
mengkhawatirkan, upaya-upaya perlawanan terhadap pemberantasan korupsi ini menggunakan
jalur hukum sebagai pendekatan, melalui gugatan judicial review kepada MK. Persoalannya
adalah, kecenderungan putusan yang dibuat oleh MK dalam mengkaji gugatan, terutama
yang diajukan terhadap institusi superbody seperti KY dan KPK menunjukan kecenderungan
negatif. Bisa jadi cara seperti ini akan selalu ditempuh oleh siapapun yang tidak
diuntungkan oleh agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan,
dengan bekal banyaknya celah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
terbentuknya lembaga-lembaga antikorupsi baru.
DPR sebagai
penyusun legislasi tidak bisa tidak merupakan pihak yang paling
bertanggungjawab atas munculnya banyak celah hukum. Bagaimanapun, hukum adalah
produk politik. Semua rumusan mengenai peraturan yang melahirkan
lembaga-lembaga antikorupsi baru seperti KY dan KPK dibawah kendali sepenuhnya
DPR. Tak dapat dipungkiri, DPR merupakan lembaga yang rentan dengan intervensi
kepentingan. Produk hukum mencerminkan sikap politik DPR terhadap situasi
tertentu. Dalam konteks pemberantasan korupsi, agaknya dukungan politik dari
DPR tidak terlalu menggembirakan. Banyaknya celah peraturan yang menaungi kehadiran
lembaga antikorupsi baru menunjukan sebagian dari sikap itu. Belum lagi tiadanya
keinginan untuk mengadopsi beberapa regulasi yang progresif untuk pemberantasan
korupsi. Yang terbaru, justru Panitia Kerja (Panja) Gabungan Komisi II dan
Komisi II yang membawahi Pemerintahan Daerah dan penegakan hukum menyusun
rekomendasi yang konyol. Sikap politik DPR yang meminta adanya rehabilitasi
nama baik anggota DPRD yang didakwa korupsi jelas-jelas merupakan bentuk
intervensi politik atas hukum. Usaha seperti ini tidak hanya akan menyurutkan
langkah pemberantasan korupsi, lebih jauh dari itu merupakan jalan baru bagi politisi
yang terlibat kasus korupsi untuk mendapatkan proteksi politik.
Gerakan untuk
menggerus agenda pemberantasan korupsi nyatanya juga secara tidak langsung
didukung institusi yudisial. Bebasnya DL Sitorus di Pengadilan Tinggi Jakarta –yang
sebelumnya telah divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat-
menambah daftar pelaku korupsi yang dibebaskan. Dalam catatan ICW sepanjang tahun
2006 ini, terdapat 17 perkara korupsi yang pelakunya dibebaskan oleh
pengadilan, baik di tingkat pertama maupun banding. Lazimnya sebuah kasus
pidana, jika aparat penyidik dan penuntut sudah membawa ke pengadilan, peluang
untuk lolosnya sangat kecil. Akan tetapi, akrobat di pengadilan kerap
melahirkan kejutan-kejutan. Tak heran jika tuduhan masih bercokolnya mafia peradilan
bukan sesuatu yang mengada-ada. Minimnya usaha dan dukungan yang serius dari
ketiga wilayah kekuasaan dan cabangcabangnya yang baru, seperti MK dalam
memberantas korupsi pada akhirnya hanya akan membuka kesempatan bagi siapapun
yang merasa dirugikan atas agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan
perlawanan. Jika perlawanan terhadap gerakan antikorupsi berhasil, dapat
dipastikan hal itu akan mematikan nadi pemberantasan korupsi yang sedang
berdetak.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sistem
peradilan pidana Indonesia dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan gagal
total memerangi korupsi dan tidak dapat diharapkan untuk memerangi korupsi.
Karena mereka justru terlibat dan terbuai oleh korupsi. Korupsi sudah merupakan
penyakit yang kronis hampir di setiap institusi pemerintah hingga disebut
dengan extra ordinary crime. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang super body
memerangi korupsi di Indonesia. Namun, sayangnya lembaga super body yang ada
seperti KPK tidak didukung oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehinga
kesendirian dan kesepian. Instansi yang seharusnya memerangi korupsi hanya jadi
penonton belaka dan tidak berusaha memperbaiki diri. Sedangka lembaga negara
lainnya masih terus terbuai dengan korupsi.
Dalam melaksanakan perannya memerangi korupsi,
KPK masih diskriminatif karena tidak adanya kemauan di tingkat kekuasaan,
kecuali kepura-puraan. Bahkan tanpa rasa malu tak jarang koruptor dilindungi
dengan kekuasaan dengan cara-cara invisible hand. Di samping, tidak adanya
keinginan untuk memanfaatkan momen untuk memperbaiki sistem masing-masing
instansi walaupun sudah dipertontonkan fakta demi fakta oleh KPK. Hal ini
terbukti tidak dilakukannya pergantian pimpinan institusi di bidang penegakan
hukum. Bukankah kita dapat melihat pergantian pucuk pimpinan Kepolisian
berhasil memperbaiki kinerja, citra, pengayoman, perlindungan dan pelayanan masyarakat.
Dari beberapa fakta sejarah kejatuhan beberapa
presiden terdahulu karena masyarakat melihat bahwa perang melawan korupsi yang
dicanangkan hanya retorika belaka/angin surga sehingga hilangnya simpati
masyarakat yang mengimpikan negara yang bersih, pelayan umum yang baik dan
terbebas dari praktek korupsi. Hal ini mengakibatkan pil pahit dan terasa sakit
bagi presiden terdahulu. Akan kah pisang berbuah dua kali?, akan kah keledai
akan terperosok pada lobang yang sama untuk kedua kali?, jawabannya dapat kita
lihat langkah nyata yang akan dilakukan oleh pucuk pimpinan negara tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA
Farouk
Muhammad. Reformasi Sistem Peradilan Pidana. Aspek Kepolisian.
BPHN-UNSRI, Sumatra Selatan.
http://pengelolaan
keuangan.wordpress.com
Republika, 9
Desember 2005
Undang-undang
No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Undang-undang
No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.