Pages

07/03/15

MAKALAH PERAN KPK DALAM PROSPEKTIF PENEGAK HUKUM

A.      Pendahuluan
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.
Di satu pihak, fungsi KPK, sebagai lembaga Super Body institusi penegak hukum kejahatan korupsi telah mendapatkan pembenaran juridis. Sehingga kehadiran KPK, umumnya cenderung menimbulkan kontorversial dalam praktek penegakan hukum kejahatan korupsi di tingkat lapangan. Terutama, adanya kesan tebang pilih yang tidak dapat  dihilangkan jejaknya. Di pihak lain, peran institusi penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan merasa terkurangi. Sebab, dalam waktu lalu merupakan kewenangan bersama polisi, jaksa dan pengadilan umum. Akan tetapi, sejak keluarnya UU No.31/2002, kejahatan korupsi, dalam ukuran tertentu (di atas 1 miliar) merupakan jurisdiksi kompetensi KPK. Sehingga, pihak kepolisian, yang merupakan pintu gerbang proses penyelidikan dan penyidikan dalam penegakan hukum dalam tindak pelanggaran dan kejahatan, termasuk kejahatan korupsi menjadi amat terkurangi. Dalam kejahatan korupsi tertentu, polisi tidak dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan di tingkat lapangan, menempatkan situasi kontra-produktif bagi citra kepolisian. Ketidak wenangan polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kejahatan korupsi di tingkat kabupaten atau kotamadya, terkadang membuat masyarakat lokal begitu mudah mendiskreditkan peran penegak hukum, khususnya pihak kepolisian.
Di Indonesia Korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai penggunaan fasiltas publik untuk kepentingan pribadi dengan cara melawan hukum.
Usaha penanggulangan tindak pidana korupsi yang lain sangat sulit untuk dilakukan, meskipun telah diupayakan suatu prioritas terhadap penanganan perkara jenis ini. Dikemukakan dalam kongres PBB VII mengenai Tahune Prevention of Crime and Treatment of Offders tahun 1980, bahwa aparat penegak hukum relatif tidak berdaya atau tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi jenis tindak pidana ini. Ini dikarenakan dua hal, yakni:
a)      Kedudukan ekonomi atau politik yang kuat dari pelaku (tahune high economic or political status of tahune perpetrators).
b)      Keadaan disekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa sehingga mengurangi kemungkunan mereka untuk dilaporkan (and tahune circum tence under which tahune had been commited were such as to decrease tahune likelihoodof tahuneir being report prosecuted).
Berdasakan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya. Sedangkan Pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia. Transparansi Internasional menempatkan Indonesia sebagai negara sepuluh besar yang terkorup didunia dalam hasil surveynya.
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru dan menjadi endemik yang sangat lama semenjak pemerintahan Suharto dari tahun 1965 hingga tahun 1997. Penyebab utamanya karena gaji pegawai negeri dibawah standar hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang lemah. Secara sistematik telah diciptakan suatu kondisi, baik disadari atau tidak dimana gaji satu bulan hanya cukup untuk satu atau dua minggu. Disamping lemahnya sistem pengawasan yang ada memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri untuk mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi walau dengan cara melawan hukum.
Selain itu, sistem peradilan pidana Indonesia tidak berjalan efektif untuk memerangi korupsi. Sehingga pelaku korupsi terbebas dari jeratan hukum. Menurut Bank Dunia bahwa korupsi di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan seperti Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi.
Kejadian tersebut di atas menyebabkan protes dan penolakan dari masyarakat luas terhadap pemerintahan Suharto maupun para penggantinya. Adanya korupsi dimana-mana dan timbulnya perasaan jengkel karena keadilan yang dinantikan masyarakat tak kunjung tiba, ditambah lagi keadaan ekonomi rakyat kian parah. Indonesia Corruption Watch mengemukakan bahwa hal tersebut di atas menghasilkan krisis ekonomi di Indonesia yang berujung dengan kejatuhan rezim Suharto.
Reformasi nasional tahun 1998 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Suharto pada bulan Mei 1998 tidak serta merta mengeliminasi korupsi. Walaupun Presiden berikutnya setelah era Suharto berjanji untuk memerangi korupsi tetapi hanya sedikit sekali kemajuan yang dicapai untuk memerangi korupsi. Bahkan para presiden pengganti Suharto telah tercemari skandal korupsi seperti pengumpulan dana politik secara melawan hukum. Banyak para pejabat negara telah terlibat dalam skandal korupsi termasuk para pejabat tinggi negara, petinggi Golkar, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dalam kampanye pemilihan Presiden pada tahun 2004 yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusung dan berjanji untuk memerangi korupsi sebagai tujuan utamanya. Jawaban untuk memerangi korupsi merupakan harapan seluruh bangsa Indonesia minus koruptor. Hal inilah yang menarik pemilih untuk memilihnya dan berhasil mengalahkan Megawati. Sebelumnya telah di bentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan pidana di Indonesia. KPK secara resmi dibentuk dengan adanya UU. Nomor 30 tahun 2002 dan setelah terpilihnya pimpinan dan Ketua KPK pada tanggal 16 Desember 2003. Sebelum kita membahas peranan KPK dalam memerangi korupsi di Indonesia, kita akan bahas dulu kondisi pemerintahan di Indonesia.
1.      Pemerintahan
Pemerintahan yang baik adalah suatu pemerintahan yang berdasarkan hukum, meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas terhadap pelayanan pada masyarakat dan memerangi korupsi. Pemerintahan yang baik masih merupakan suatu impian di Indonesia. Kita dapat lihat bagaimana buruknya pelayanan umum di Indonesia. Masyarakat luas dan bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono sendiri sepulang dari Malaysia mengaku malu dan dipermalukan disuatu forum di Kuala Lumpur karena seorang investor dari Thailand mengeluhkan aparat imigrasi Indonesia mencari-cari masalah ketika dia akan berkunjung ke Indonesia. Belum lagi pejuang devisa (TKI danTKW) Indonesia yang berada didalam dan diluar negeri diperas dan diperdagangkan oleh aparat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta aparat Imigrasi. Awal tahun 2006, terbongkarnya kasus pembobolan uang negara sebanyak Rp 150 milyar yang dilakukan pengusaha dengan cara memalsukan dokumen ekspor/faktur bekerjasama dengan Faisal Siregar, Kepala Kantor dan empat pejabat di Kantor Pelayanan Pajak dan aparat bea cukai mencairkan restitusi pajak. Hal ini telah mereka lakukan puluhan tahun yang lalu.
Nampaknya warisan kebobrokan dari pemerintahan Suharto masih dan mungkin akan terus berlanjut di Indonesia. Walaupun ada juga sisi positipnya pada waktu pemerintahan Suharto seperti stabilitas dan keamanan tetap terjamin pada waktu itu, tidak ada kelangkaan dan kenaikan BBM yang membuat masyarakat sekarat. Selanjutnya, kita akan membahas beberapa institusi pemerintah yang mempunyai peran penting dan tanggung jawab penuh untuk memerangi korupsi seperti Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, Partai Politik dan DPR/Parlemen.
Sistem peradilan di Indonesia adalah salah satu lembaga yang terkorup yang dikenal dengan mafia peradilannya. Jadi lembaga negara ini tidak bisa diharapkan untuk memerangi korupsi. Jual beli perkara terhadap putusan telah terjadi di berbagai tingkat seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan bahkan terhadap benteng utama dan terakhir penjaga keadilan yaitu Mahkamah Agung (MA). Memahami kebusukan yang terjadi di peradilan, maka pada tanggal 20 Desember Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan reformasi peradilan di MA. Acara ini dihadiri oleh seluruh unsur pimpinan MA, hakim agung, seluruh ketua pengadilan tingkat pertama, banding, pejabat tinggi lainnya dan wakil dari negara sahabat. Belum lagi hilang dari ingatan gong reformasi peradilan dicanangkan, terjadi pemerasan yang dilakukan oleh Mathius B Situru, Panitia Pengganti di PN Jakarta Pusat dengan cara memperlambat pemberian salinan putusan dan meminta uang agar salinan baru bisa diberikan. Kemudian, Jammes Darsan Tony dan komplotannya (Peneliti di Litbang dan staf di MA) sedangkan panitera pengganti dan hakim PN Jakarta Selatan memeras saksi dalam kasus korupsi P.T. Jamsostek. Kasus ini menyebabkan ditetapkan tersangka dan ditahannya panitera pengganti, Andrian Jimmy Lumanauw dan Hakim Herman Alossitandi, Ketua Majelis Hakim perkar P.T. Jamsostek. Sebelumnya, penangkapan advokat Syafiudin Popon, Ramdhan Rizal dan M. Sholeh, dua panitera PT Jakarta. Kasus Probo Sutedjo yang melibatkan uang milyaran rupiah dengan tersangka pengacara Harini Wijoso, pagawai MA, jaksa, hakim bahkan melibatkan Hakim Agung. Belum lagi banyaknya kasus illegal logging dan hutang terhadap negara yang dikalahkan oleh pengadilan. Nampaknya transaksi uang dalam dunia peradilan menunjukkan bahwa mafia peradilan memperdagangkan hukum dan kewenangan adalah realitas yang tak perlu dibantah lagi. Hal tersebut membuat masyarakat curiga dan tidak menghormati lembaga peradilan. Sulit untuk membuat masyarakat percaya bahwa peradilan adalah tempat untuk mencari keadilan dan tidak memihak. Kalau kita lihat fakta-fakta dan khususnya terhadap korupsi yang dilakukan oleh mantan presiden Suharto, keluarga, para pejabat seperti mantan Jaksa Agung M Rachman, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seperti Syamsul Nursalim, Samadikun Hartono, Agus Anwar, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Eko Adi putranto, Sherny Konjongiang, David Nusa Wijaya, Sudjiono Timan dan Prayogo Pangestu.
Disadari bahwa gaji para hakim pada umumnya rendah dibanding dengan kekuasaan yang mereka miliki. Sebagai contoh seorang yang baru diterima sebagai hakim hanya menerima gaji lebih kurang dua juta rupiah. Namun, dari awal yang bersangkutan memulai karir sebagai hakim, mereka didorong untuk melakukan praktek korupsi karena harus bermodal dulu untuk menjadi hakim. Bukan rahasia umum bahwa untuk diterima menjadi hakim, mereka harus memberikan uang sogokan yang besar. Bahkan dalam seleksi hakim agung pun telah beredar kabar isu suap dikalangan DPR. Begitu juga halnya dengan Kejaksaan, merupakan lembaga yang sering mendapat tudingan yang sama. Disamping itu dalam hal penganan beberapa kasus Kejaksaan Agung cenderung bertindak diskriminatif, seperti Kasus Dana Abadi Umat (DAU) hanya difokuskan kepada Said Agil Husin Al Munawar (mantan Menteri Agama) diputus 5 tahun oleh pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Taufik Kami (Direktur Jenderal di Departeman Agama) dan empat auditor Badan Pemeriklasaan Keuangan (BPK). Sedangkan dalam sidang dan surat dakwaan terungkap aliran dana kepada Sekretaris Jenderal BPK, membiayai anggota Komisi VI DPR untuk memantau penyelenggaraan haji, dan pendidikan hakim agama ke Mesir tidak diusut sama sekali.
Berbagai reformasi telah dilakukan untuk memperbaiki sistem peradilan. Telah beberapa hal yang dilakukan untuk mereformasi MA dan pengadilan di Jakarta dengan berbagai mutasi. Bahkan mantan Presiden Gus Dur (1999-2001), walaupun ditentang oleh DPR pada saat itu atas calon yang diusulkan untuk Ketua dan Wakil ketua MA. Reformasi di MA dengan menggantikan separuh hakim karir dengan profesional yang bersih dari korupsi.
Untuk mengatasi masalah tersebut diatas dalam rangka mengawasi perilaku para hakim telah dibentuk Komisi Yudisial (KY) pada tanggal 8 Juni 2005 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang KY. Para hakim mulai diawasi oleh KY semenjak Presiden melantik tujuh anggotanya pada tanggal 2 Agustus 2005. Menurut KY bahwa kinerja para hakim masih berada pada level yang rendah. Hal ini berdasarkan jumlah laporan masyarakat yang telah mencapai 400 laporan semenjak Komisi Judisial bekerja lebih kuran 3 hingga 4 bulan. Dari jumlah tersebut 37 laporan telah selesai diperiksa dan sebagaian besar telah menghasilkan rekomendasi tentang adanya pelanggaran kode etik oleh para hakim. Namun, laporan dari KY belum diperhatikan oleh MA. Komisi Yudisial juga mengusulkan untuk melakukan seleksi ulang terhadap 49 hakim agung yang ada di MA. Karena Menurut Busyro Muqodas, Ketua Mahkamah Yudisial bahwa MA merupakan puncak dari peradilan di Indonesia, sementara kasus-kasus suap yang terjadi di MA merupakan representasi dari lemahnya manajemen serta kepemimpinan di MA.
Nampaknya, usulan seleksi ulang hakim agung mendapat tanggapan positif dari presiden Susilo Bambang Yuoyono, bahkan telah memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk men-drive tentang usulan dari KY. Praktisi hukum, Adnan Buyung Nasution ikut mendukung usulan KY tersebut. Usulan KY merupakan revolusi besar di badan peradilan dan didukung oleh politisi dari Ketua DPR, Fraksi PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera. Namun, usulan seleksi ulang hakim agung tersebut ditentang keras oleh Ikatan Hakim Indonesia dengan alasan pelecehan terhadap 49 hakim agung dan anggota DPR yang menyeleksi mereka. Penolakan seleksi ulang ini menimbulkan kecaman dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Pada saat bersamaan Wakil Ketua DPR, Zainal Ma’rif menyarankan sebaiknya Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) sebagai dasar untuk menyeleksi ulang 49 hakim agung.
Kondisi peradilan di Indonesia betul-betul hancur dan pada titik yang paling rendah dan tidak bisa diharapkan oleh masyarakat yang ingin mencari keadilan. Ini berarti negara hukum di Indonesia hanyalah ilusi belaka, bilamana lembaga peradilan tidak dibenahi. Praktik korupsi dan mafia peradilan di Indonesia sudah dalam kondidsi yang darurat. Untuk membersihkan peradilan harus dilakukan dengan cara yang luar bisa seperti dengan PERPU untuk menyeleksi ulang hakim agung di MA. Pemberantasan teroris yang hanya menimbulkan korban 180 dilakukan dengan PERPU, maka koruptor juga perlu diatasi dengan PERPU, karena koruptor di peradilan telah meluluh lantakan citra negara hukum, memiskinkan rakyat dan menghancurkan perekonomian bangsa.
Belum selesai gonjang ganjing usulan Komisi untuk menguji ulang Hakim Agung, terbongkar bahwa secara diam-diam, Bagir Manan, Ketua MA dengan SK Nomor KMA/119/SK/VI/2005 pada 20 Juni 2005, memperpanjang usia pensiun dirinya dan sembilan Hakim Agung (Susanti Adi Nugroho, Titiek Nurmala Siagian, M Bahaudin Qoudry, Parman Suparman, Kaimuddin Salle, Iskandar Kamil, Sudarno, dan German Hoediarto). Hal ini mengundang kritik dari berbagai pihak, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun akdemisi. Karena dalam Pasal 13 Undang-undang No 22 tahun 2004 tetang KY diatur, bahwa kewenangan KY adalah mengusulkan Hakim Agung. Selanjutnya Pasal 14 menyatakan dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, MA menyampaikan kepada KY daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat enam bulan sebelum berkahirnya masa jabatan tersebut. Disamping itu dalam pertimbangan perpanjangan pensiun disebut para hakim yang diperpanjang mempunyai  prestasi kerja yang luar bisa. Sebaiknya di uji ulang para Hakim Agung dan diganti ketua maupun wakil ketuanya. Lagi-lagi masyarakat Indonesia dikejutkan dan dikecewakan dengan putusan Hakim PN Jakarta Selatan yang memvonis bebas mantan Direksi Bank Mandiri, ECW Neloe, Iwayan Pugeg dan Sholeh Taspiran, yang kemudian diikuti dengan vonis bebas direksi PT CGN, yakni Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan.
Ada perkembangan terakhir yang menarik terhadap Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilantik Presiden pada bulan Juli 2004 berdasarkan UU. No 30 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor membuat gentar dan menciutkan nyali para pelaku korupsi. Beberapa terdakwa korupsi yang mencoba mencari keadilan ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi justru mendapatkan hukuman lebih berat. Sebagai contoh Abdullah Puteh, mantan Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, pada pengadilan tingkat pertama dihukum 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan serta membayar ganti rugi Rp3.687 miliar. Pada putusan banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan menyebabkan tertangkap tangan Tengku Safiudin Popon, salah seorang pengacaranya dan panitera PT DKI Jakarta Ramadhan Rizal, beserta uang suap Rp 250 juta. MA menjatuhkan hukuman 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan serta uang pengganti sebesar Rp 6.654 miliar. Apabila tidak dilaksanakan Jaksa penuntut umum diperintahkan menyita harta benda Puteh. Nasib yang sama dialami juga oleh Muhammad Harun Let Leta, mantan Kepala Bagian Keuangan Dirjen Hubungan Laut dan Tarsisius Walla, mantan Sekretaris Dirjen Perhubungan laut.
Fenomena baru ini menyebabkan terpidana korupsi yang kasusnya ditangani KPK kecut dan gentar untuk mengajukan banding terhadap vonis pengadilan Tipikor. Sehingga Mulyana W Kusuma yang telah memasukkan memori banding mengurungkan niatnya dan mencabut memori banding dari PN Jakarta Pusat. Sikap ini pun diikuti oleh Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU, Susongko Suhardjo, Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal KPU. Hal ini dilain pihak dapat mendorong membangun keyakinan pencari keadilan, yang percaya bahwa putusan di Pengadilan Tipikor memenuhi rasa keadilan dan kinerja pengadilan korupsi baik. Tapi bukan berarti gejala ini menandai hilangnya mafia peradilan secara keseluruhan. Untuk itu diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk terus memberikan perhatian dan pengawasan pada Pengadilan Tipikor dan peradilan pada umumnya.
3.       Kepolisian
Selama ini kepolisian berada dalam angkatan bersenjata, namun telah mandiri semenjak tahun 2000, dalam rangka untuk memperkuat fungsi menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat. Seperti peradilan, kepolisian mengalami krisis kepercayaan dimata masyarakat. Korupsi yang berkembang dilembaga kepolisian dari hal yang terkecil seperti pengurusan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan, pelanggaran lalu lintas, hingga illegal logging, perjudian, pencurian, bisnis narkoba dan obat bius, penjambretan, perampokan, penyelundupan pasir timah, BBM, kendaraan bermotor sudah biasa dilakukan oleh aparat kepolisian dari pangkat yang paling rendah hingga pangkat yang tinggi. Masyarakat yang mengalami tindak kejahatan memilih untuk tidak melaporkan ke polisi karena adanya rasa takut dari masyarakat disebabkan prosesnya berbelit-belit, makan waktu dan bisa jadi megalami pemerasan oleh polisi.
Hal tersebut terjadi dilingkungan kepolisian karena para polisi yang melakukan tindak kriminal bisa berkelit dan tidak ada suatu lembaga yang mengawasi para polisi. Dengan demikian, seperti peradilan kepolisian bukanlah merupakan lembaga yang bisa diharapkan untuk memerangi korupsi karena di dalam lembaga kepolisian sendiri penuh dengan korupsi. Bahkan pada kenyataannya banyak aparat kepolisian yang terlibat dalam perjudian ilegal, premanisme dan pelacuran di seluruh wilayah Indonesia.
Kondisi yang tidak kondusif di lingkungan kepolisian di atas mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah mengganti pucuk pimpinan kepolisian, disamping karena dituntut untuk mengatasi masalah kelangkaan BBM dikarenakan ulah penyelundup, penimbun dan pengoblos. Kelangkaan BBM sudah pada tingkat meresahkan masyarakat dan membuat masyarakat panik. Kemudian, Presiden dalam pidato pelantikan Jenderal Sutanto sebagai Kapolri baru menekankan tugas polisi untuk memerangi korupsi, perjudian, kejahatan jalanan serta menyelesaikan masalah-masalah didaerah. Kapolri Sutanto dalam paparannya di depan DPR mengakui wajah Polri masih jauh dari harapan masyarakat. Bahkan dia menegaskan bahwa aparat penegak keamanan yang berwatak sipil yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyakat masih sebatas cita-cita. Dia juga menambahkan bahwa dimata masyarakat sosok polisi masih tampil arogan, senang menggunakan kekerasan, diskriminatif, tidak responsif, dan belum profesional. Sehari setelah pelantikannya, dia memerintahkan jajarannya untuk melakukan razia dan penutupan tempat-tempat perjudian dan peredaran gelap narkoba.
Di bawah kepemimpinan Jenderal Sutanto, David Nusa Widjaya, terpidana delapan tahun dalam kasus pembobolan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melarikan diri ditangkap Tim Pemburu Koruptor di San Fransisco, Amerika. Teroris bisa ditumpas dengan tertembaknya tokoh utama teroris Indonesia Dr. Azhari dan tertangkapnya beberapa anggota teroris. Kemudian perjudian kian menyusut di masyarakat. Begitu juga dengan premanisme kian berkurang karena sikap tegas pucuk pimpinan kepolisian. Pemberantasan Narkoba melaju dengan luar biasa dengan tertangkapnya para produsen dan tempat pembuatan narkoba di beberapa kota di Indonesia. Selanjutnya penindakan perwira dilingkungan aparat kepolisian yang nakal mampu menyentuh perwira tinggi. Dalam waktu tidak terlalu lama Kapolri melakukan pergantian terhadap pejabat Polri yang diduga bermasalah yaitu Kapolwil Bogor, Kombes Bambang Wasgito, Kombes Ciptono dan Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisari Jenderal Binarto yang diduga memberi perintah kepada Komisari Besar Toni Suhartono Kasat Polairud Polda Jatim dalam kasus pelepasan kapal tongkan pengangkut 100 ton solar selundupan.
Kasus yang terbaru yang terjadi yaitu keterlibatan beberapa Jenderal Markas Besar Kepolisian dalam kasus penyidikan BNI. Karena tersangka kasus pembobolan BNI sebanyak Rp1.7 triliun menyebutkan adanya tiga jenderal yang terlibat. Sehingga ditetapkan sebagai tersangka dan ditahannya Komisaris Jenderal Suyitno Landung, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Kabareskrim Mabes POLRI), Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, mantan Direktur Ekonomis Khusus pada Bareskrim Mabes Polri, Komisari polisi Irman Santoso, mantan Kanit II Perbankan Direktorat Ekonomi Khusus Bareskrim dan 16 penyidik di Mabes Polri yang terlibat. Namun, hal tersebut tidak membuat jera para polisi untuk melakukan penyimpangan dimana satu perwira pertama dan dua bintara Polisi Sektor Setiabudi Jakarta menggelapkan barang bukti sebesar 100.000 (seratus ribu) US dolar juta dari kasus yang ditanganinya, membuat geger Polisi Daerah Metro Jaya, dan polisinya sudah diproses.
Walaupun demikian terobosan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap debitor nakal BLBI tanpa melalui proses hukum akan menjadi preseden buruk bagi koruptor lain. Alasan pemerintah dengan mengatakan mereka debitor kooperatif tidak bisa diterima dengan akal sehat, karena mereka melarikan uang bertahun-tahun keluar negeri dan menyebakan krisis ekonomi tahun 1998. Kedatangan ketiga debitor bernama James Januardi, Ulung Bursa dan Lukman Astanto yang mewakili Atang Latief ke Istana Presiden yang diakui oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia merupakan tanggung jawabnya menimbulkan banyak kecurigaan dan tanda tanya. Menurut mantan Ketua MPR Amien Rais, dulu waktu Tommy Soeharto bertemu Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) di Hotel Borobudur saja, orang gempar. Padahal pertemuan di tempat netral. Bayangkan, sekarang tiga konglomerat hitam masuk ke pusat kekuasaan. Artinya, ada orang-orang yang menjadi fasilitator. Pihak kepolisian sangat diskriminatif dalam menangani perkara korupsi. Karena koruptor kasus kecil langsung diproses hukum. Tapi, yang merugikan negara hingga triliunan rupiah bisa dimaklumi dengan alasan ada niat mengembalikan uang ke kas negara. Kalau yang kasusnya besar sampai triliunan, niat mengembalikan dulu baru proses hukum. Tapi, yang kecil-kecil langsung diproses hukum. Dengan kedatangan ketiga pengemplang BLBI yang diantar oleh pejabat Kepolisian yang berbintang itu bisa merusak citra lembaga kepresidenan.
Alasan yang diberikan Jaksa Agung bahwa mekanisme penyelesaian perkara BLBI sudah jelas karena ditangani oleh tiga Presiden dan Presiden Yudhoyono hanya melanjutkan saja kebijakan yanga ada bahwa mereka yang kooperatif memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) dan selanjutnya Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), adalah sangat bertententangan dengan azas hukum pidana bahwa pengembalian dana BLBI tidak menghapuskan perbuatan pidana oleh pelaku BLBI.
Sebaliknya tindakan dan keberanian Jenderal Sutanto membersihkan institusi kepolisian dari pelaku korupsi sebelum menata perilaku masyarakat, merupakan suatu tindakan nyata yang patut didukung oleh segenap masyarakat yang telah lama mengimpikan mempunyai aparat penegak keamanan yang berwatak sipil yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Hal ini ternyata membawa angin segar dalam merebut kembali citra institusi yang dipimpinnya. Diharapakan pembenahan di kepolisian terus membersihkan, memperbaiki diri dan meningkatkan peningkatan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Usaha untuk membangun Kepala Polisi Republik Indonesia menjadi institusi penegak keamanan yang berwatak sipil, melindungi, mengayomi, dan melayani masayarakat menjadi pudar setelah terbongkarnya kasus pengintelan yang dilakukan aparat intel Polisi Daerah Metro Jaya terhadap anggota DPR-RI dari Fraksi PKS dan Fraksi PDI-F yang ingin mengawasi proses impor beras yang dilakukan oleh pemerintah dari negara Vietnam. Hal ini merupakan cara-cara yang keji dan kotor Orde Baru dalam melibas lawan politik. Sudah barang tentu melewati dan menyalahi tugas serta kewenangan dan juga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang serius. Sayangnya penyelesaian masalah ini berakibat Kombespol Sukamto Handoko, direktur Intelkam Polda Metro Jaya, dicopot dari jabatannya. Padahal seharusnya ada pihak yang lebih tinggi perlu dimintai pertanggung jawabannya.
4.      Partai Politik dan Parlemen
Partai politik dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Pada zaman Suharto, partai politik dibatasi hanya tiga partai dimana GOLKAR yang mendominasi pemilihan umum dan partai lainnya hanya sebagai pelengkap atau peramai serta tidak mempunyai peran apa-apa. Dengan adanya gelombang reformasi bulan Mei 1998, maka terjadilah perubahan yang revolusioner dalam bidang ketatanegaraan dan perubahan undang-undang tentang partai politik. Hal ini memberikan kebebasan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum dan mendirikan partai politik. Tingginya harapan masyarakat terhadap peranan partai politik dan meningkatnya demokrasi dilengkapi dengan transparansi, negara hukum dan akuntabilitas.
Sayangnya partai yang besar anggotanya masih didominasi oleh orang-orang yang karirnya dan besarnya dari dalam lingkungan orde baru. Mereka terdiri dari mantat birokrat, mantan pengurus GOLKAR, pensiunan militer dan polisi begitu juga dalam bidang bisnis dan politik. Momen reformasi yang yang berhasil mendudukkan PDI-P menjadi mayoritas di parlemen dan Ketua Umumnya, Megawati berhasil menjadi Presiden Indonesia yang ke empat tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memerangi korupsi. Bahkan Partai Golkar yang dulunya merupakan GOLKAR telah menjadi partai terbesar yang mendapat kursi di parlemen pada pemilihan umum anggota DPR tahun 2004. Partai-partai besar sudah dikenal masyarakat luas terlibat dalam money politik dari pusat hingga ke daerah.
Media massa maupun Indonesian Corruption Watch telah memberitakan bahwa mayoritas anggota DPR dari berbagai partai telah menerima suap dari lembaga pemerintah dan sektor swasta untuk menentukan atau memasukkan anggaran. Lebih lanjut komisi tertentu di DPR yang berhubungan dengan anggaran dan pembangunan merupakan tempat basah yang bisa terjadinya transaksi suap untuk meluluskan anggaran. Masih ingat bahwa tiga anggota DPR RI dikenai sanksi oleh Badan Kehormatan (BK) DPR karena terlibat percaloan proyek dana bencana alam yang dianggarkan pemerintah tapi mereka hanya dikenakan sanksi ditarik oleh fraksinya dari anggota Panitia Anggaran DPR. Pemborosan uang rakyat yang dilakukan 15 orang anggota DPR RI yaitu melakukan kunjungan mubazir ke mesir dengan kedok studi banding tentang perjudian mencengangkan rakyat karena diberbagai tempat rakyat Indonesia sedang ditimpa musibah gempa, Tsunami yang belum selesai penanggulannya dan shock karena kenaikan BBM yang lebih dari 100 persen.
Dalam hasil survei yang dilakukan Gallup International yang dilansir oleh Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Transparancy International Indonesia, dalam rangka memperingati hari anti korupsi bahwa partai politik merupakan lembaga terkorup sedangkan parlemen/DPR di Indonesia menjadi lembaga terkorup kedua bersama polisi dan bea cukai. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak kalah bersaing dalam mengikuti jejak DPR RI melakukan money politik dan korupsi. Bahkan beberapa DPRD bersama-sama dengan pemerintah daerah menjual aset pemerintah daerah ke pihak swasta dengan harga dibawa standar (Nilai Jual Objek Pajak) begitu juga korupsi berjemaah yang dilakukan dalam menggunakan dana operasional. Jual beli suara dalam pemilihan kepala daerah telah dilakukan dari dahulu. Namun, hal ini telah berubah semenjak diadakannya pemilihan langsung terhadap kepala daerah.
Pada kenyataannya partai politik, DPRD dan DPRRI lembaga negara yang paling sarat dengan korupsi dan money politic dibanding dengan institusi lainnya. Hal inipun diakui oleh Jusuf Kalla, Agung Laksono yang merasa malu bahwa dua lembaga yang dipimpinnya oleh hasil survei yang dilansir Transparancy Internasinal Indonesia dinyatakan sebagai lembaga terkorup rangking satu dan dua. Untuk itu diperlukan perhatian khusus oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat yang punya akuntabilitas untuk terus mengawasi dan mencemati partai politik dan parlemen.
B.       Sistem Hukum Terkait Kejahatan Korupsi
Kejahatan korupsi yang semula dipandang sebagai kajahatan biasa (Ordinary Crime), masyarakat internasional saat ini, sepakat untuk menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Keadaan luar biasa tersebut meniscayakan adanya tindakan dan penanganan secara luar biasa pula. Namun, penanganan yang luar biasa tidaklah berarti dapat keluar dari koridor the rule of law. Asas-asas hukum yang selama ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pemidanaan yang berkeadilan harus tetap dapat diberlakukan.
Dalam perspektif hukum nasional paska reformasi, UU No 31 tahun 1999, tentang Tindak Pidana Korupsi rumusan kejahatan korupsi lebih komprehensif. Kejahatan korupsi dipandang, sebagai setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Secara substansif, pasal tersebut mengandung perbuatan seseorang, baik aparat pemerintah atau bukan, tetapi perbuatan yang menyalahi kewenangan tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat berakibat timbulnya kerugian negara.
Seiring dengan itu, Muhammad Faraouk dalam kajiannya menyebutkan bahwa bentuk bentuk korupsi ke dalam dua sifat.(1) general dengan misal: merajalela dimana-mana, relatif terbuka (mudah diketahui), menyangkut publik (banyak orang), dengan jumla uang yang relatif kecil serta pada umumnya melibatkan pegawai/pejabat rendahan dan didorong oleh kebutuhan primer baik pribadi maupun institusi. (2) Spesifik/terbatas: hanya pada kesempatan/menyangut kasus tertentu (eksklusif), relatif tertutup dengan modus yang canggih (sulit dibuktikan), melibatkan orang tertentu (bisnis) dan pejabat yang berwewenang yang lebih tinggi dengan jumlah uang yang relatif besar dan biasanya lebih didorong oleh kesepakatan dari pada primer (Faoruk Muhammad, 2007: 5).
Seiring dengan itu Romli Atmasasmita, sebagai pakar hukum pidana internasional menegaskan bahwa strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan empat (4) pendekatan yaitu pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan, pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural. Begitu kompleksnya penyebab kejahatan korupsi, maka pembenrantasan korupsi dengan pendekatan konvensional dipandang sudah tidak relevan lagi. Sehingga modus operasi tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana kita harus dijadikan suatu kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crimes). Sebab, upaya mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dalam upaya memerangi kejahatan korupsi merupakan bentuk kewajiban negara untuk memenuhi tuntutan hak-hak asasi sosial ekonomi masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh pasal 29 Deklarasi PBB (Romli Atmasasmita, 2004: 13).
C.      Tantangan KPK dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terkait UU
Terkait dengan sistem hukum penanggulangan tindak pidana kejahatan korupsi, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjadi ikon nasional dan internasional di Indonesia. Bilamana pada masa lalu, ketentuan normatif mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi telah dipandang kurang lengkap peraturan hukumnya. Oleh karena ketiadaan lembaga penegak hukum khusus (Special Task Force for Combating Corrution) menjadi penyebab utama penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi tidak fektif. Karena itu, urgensi dibentuknya KPK, melalui UU No 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang adil da makmur dsan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan memberikan amanah dan tanggungjawab kepada KPK untuk melakukan peningkatan pemberantasan tindak pidana korupsi, lebih profesional, intensif, tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan negara, dan juga menghambat pembangunan nasional.
Kedudukan KPK sebagai institusi hukum yang strategis oleh karena memiliki kewenangan lebih kredible dan profesional UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, status dan sifat serta kewenangan KPK sebagai lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (pasal 3). Kedua, KPK secara khusus dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi (pasal 4). Ketiga, asas-asas yang dipergunakan KPK dalam menjalan tugasnya yaitu, kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Keempat, kewenangan KPK yang melebihi penegak hukum konvensional adalah terletak pada pasal enam (6) yaitu KPK mempunyai tugas, (a) kordinasi dengan instansi yang berwewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instans yang berwewenang dalam melakukan pemberantasan korupsi (c), melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan tidakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
D.      Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Menuliskan pendapatnya tentang KPK di dalam blognya. Berikut ini kutipannya:
Melawan Pemberantasan Korupsi
Dalam situasi dimana praktek korupsi yang telah menggurita mulai diberantas, hambatan dan tantangan untuk melakukannya tidak kecil. Meskipun usaha-usaha serius mulai dibangun, namun berbagai pihak yang tidak diuntungkan oleh situasi baru akan melawan. Perlawanan itu tidak sekedar menggunakan satu pendekatan, akan tetapi berbagai cara dilakukan untuk meredam gerakan pemberantasan korupsi. Apalagi jika kemudian, dukungan politik untuk memberantas korupsi ternyata tidak terlalu besar. Paling kurang dukungan politik dari tiga pilar pemerintahan, yakni eksekutif, legislative maupun yudikatif. Ketiga sektor ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan atas keberhasilan atau kegagalan dalam memberantas korupsi. Pada mulanya, kesulitan terbesar dalam memberantas korupsi adalah minimnya perangkat hukum beserta struktur penegakannya yang sudah demikian hancur. Berbagai peraturan yang telah ada tidak banyak membantu, alih-alih justru menyulitkan agenda pemberantasan korupsi.
Demikian halnya dengan aparatur penegak hukum yang tidak cakap. Barangkali ketidakcakapan itu sebagian besarnya lahir karena mentalitas yang buruk. Hampir tidak ada cermin yang memantulkan integritas dan akuntabilitas atas kerja-kerja aparat penegak hokum dalam memberantas korupsi. Yang lebih mengerikan, upaya-upaya penegakan hukum justru digembosi oleh mereka sendiri. Tak heran jika upaya untuk melibatkan masyarakat dalam memberantas korupsi pun tidak mudah dilakukan. Meskipun hal ini merupakan unsur penting bagi upaya untuk menciptakan mekanisme kontrol yang efektif, ditengah kondisi nyata bahwa kontrol antar dan intra lembaga negara juga tak luput dari kerusakan yang mengenaskan.
Namun tingginya sikap apatisme masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum adalah hambatan tersendiri bagi pelibatan yang lebih besar dalam pemberantasan korupsi. Mengingat di banyak negara, pembelajaran utama yang bisa dipetik dari usaha memberantas korupsi yang berhasil adalah hadirnya partisipasi masyarakat didalamnya. Mengaitkan ketiga hal tersebut dalam agenda pemberantasan korupsi yang sistematis bukanlah pekerjaan yang mudah. Prioritas perlu dibuat, akan tetapi pada saat yang bersamaan masyarakat membutuhkan hasil nyata yang cepat. Hal ini penting untuk membangkitkan kepercayaan mereka atas usaha serius pemerintah dalam memberantas korupsi. Namun disisi lain usaha itu tersendat karena tiadanya kondisi yang mendukung pemberantasan korupsi secara penuh. Meskipun berbagai peraturan baru dirancang, dan berbagai lembaga antikorupsi baru dibentuk, namun kehadiran mereka rentan dengan penggembosan.
Contoh yang paling faktual adalah pemangkasan fungsi kontrol Komisi Yudisial (KY) dan penghapusan pengertian perbuatan melawan hukum secara material dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam dua sidang gugatan yang berbeda. Yang mengkhawatirkan, pemangkasan itu justru dilakukan oleh sebuah lembaga ekstra-yudisial yang memiliki keistimewaan mengingat putusan mereka yang bersifat final. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbentuk beberapa tahun lalu juga tak luput dari upaya pembubaran, atau paling kurang pengkerdilan. Lembaga superbody yang perlahanlahan menunjukan tajinya itu kerap digugat oleh para pihak yang sedang diproses KPK.
Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) adalah salah satu pihak yang telah mengajukan gugatan judicial review UU No 30 Tahun 2003 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi. MHI menganggap UU tentang KPK telah melanggar UUD. Mengingat pasal-pasal yang krusial terkait dengan kewenangan KPK yang ingin dibatalkan melalui mekanisme judicial review, bisa dibilang langkah itu merupakan upaya untuk mengebiri KPK. Yang cukup mengkhawatirkan, upaya-upaya perlawanan terhadap pemberantasan korupsi ini menggunakan jalur hukum sebagai pendekatan, melalui gugatan judicial review kepada MK. Persoalannya adalah, kecenderungan putusan yang dibuat oleh MK dalam mengkaji gugatan, terutama yang diajukan terhadap institusi superbody seperti KY dan KPK menunjukan kecenderungan negatif. Bisa jadi cara seperti ini akan selalu ditempuh oleh siapapun yang tidak diuntungkan oleh agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan, dengan bekal banyaknya celah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar terbentuknya lembaga-lembaga antikorupsi baru.
DPR sebagai penyusun legislasi tidak bisa tidak merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas munculnya banyak celah hukum. Bagaimanapun, hukum adalah produk politik. Semua rumusan mengenai peraturan yang melahirkan lembaga-lembaga antikorupsi baru seperti KY dan KPK dibawah kendali sepenuhnya DPR. Tak dapat dipungkiri, DPR merupakan lembaga yang rentan dengan intervensi kepentingan. Produk hukum mencerminkan sikap politik DPR terhadap situasi tertentu. Dalam konteks pemberantasan korupsi, agaknya dukungan politik dari DPR tidak terlalu menggembirakan. Banyaknya celah peraturan yang menaungi kehadiran lembaga antikorupsi baru menunjukan sebagian dari sikap itu. Belum lagi tiadanya keinginan untuk mengadopsi beberapa regulasi yang progresif untuk pemberantasan korupsi. Yang terbaru, justru Panitia Kerja (Panja) Gabungan Komisi II dan Komisi II yang membawahi Pemerintahan Daerah dan penegakan hukum menyusun rekomendasi yang konyol. Sikap politik DPR yang meminta adanya rehabilitasi nama baik anggota DPRD yang didakwa korupsi jelas-jelas merupakan bentuk intervensi politik atas hukum. Usaha seperti ini tidak hanya akan menyurutkan langkah pemberantasan korupsi, lebih jauh dari itu merupakan jalan baru bagi politisi yang terlibat kasus korupsi untuk mendapatkan proteksi politik.
Gerakan untuk menggerus agenda pemberantasan korupsi nyatanya juga secara tidak langsung didukung institusi yudisial. Bebasnya DL Sitorus di Pengadilan Tinggi Jakarta –yang sebelumnya telah divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat- menambah daftar pelaku korupsi yang dibebaskan. Dalam catatan ICW sepanjang tahun 2006 ini, terdapat 17 perkara korupsi yang pelakunya dibebaskan oleh pengadilan, baik di tingkat pertama maupun banding. Lazimnya sebuah kasus pidana, jika aparat penyidik dan penuntut sudah membawa ke pengadilan, peluang untuk lolosnya sangat kecil. Akan tetapi, akrobat di pengadilan kerap melahirkan kejutan-kejutan. Tak heran jika tuduhan masih bercokolnya mafia peradilan bukan sesuatu yang mengada-ada. Minimnya usaha dan dukungan yang serius dari ketiga wilayah kekuasaan dan cabangcabangnya yang baru, seperti MK dalam memberantas korupsi pada akhirnya hanya akan membuka kesempatan bagi siapapun yang merasa dirugikan atas agenda pemberantasan korupsi untuk melakukan perlawanan. Jika perlawanan terhadap gerakan antikorupsi berhasil, dapat dipastikan hal itu akan mematikan nadi pemberantasan korupsi yang sedang berdetak.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sistem peradilan pidana Indonesia dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan gagal total memerangi korupsi dan tidak dapat diharapkan untuk memerangi korupsi. Karena mereka justru terlibat dan terbuai oleh korupsi. Korupsi sudah merupakan penyakit yang kronis hampir di setiap institusi pemerintah hingga disebut dengan extra ordinary crime. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang super body memerangi korupsi di Indonesia. Namun, sayangnya lembaga super body yang ada seperti KPK tidak didukung oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehinga kesendirian dan kesepian. Instansi yang seharusnya memerangi korupsi hanya jadi penonton belaka dan tidak berusaha memperbaiki diri. Sedangka lembaga negara lainnya masih terus terbuai dengan korupsi.
Dalam melaksanakan perannya memerangi korupsi, KPK masih diskriminatif karena tidak adanya kemauan di tingkat kekuasaan, kecuali kepura-puraan. Bahkan tanpa rasa malu tak jarang koruptor dilindungi dengan kekuasaan dengan cara-cara invisible hand. Di samping, tidak adanya keinginan untuk memanfaatkan momen untuk memperbaiki sistem masing-masing instansi walaupun sudah dipertontonkan fakta demi fakta oleh KPK. Hal ini terbukti tidak dilakukannya pergantian pimpinan institusi di bidang penegakan hukum. Bukankah kita dapat melihat pergantian pucuk pimpinan Kepolisian berhasil memperbaiki kinerja, citra, pengayoman, perlindungan dan pelayanan masyarakat.
Dari beberapa fakta sejarah kejatuhan beberapa presiden terdahulu karena masyarakat melihat bahwa perang melawan korupsi yang dicanangkan hanya retorika belaka/angin surga sehingga hilangnya simpati masyarakat yang mengimpikan negara yang bersih, pelayan umum yang baik dan terbebas dari praktek korupsi. Hal ini mengakibatkan pil pahit dan terasa sakit bagi presiden terdahulu. Akan kah pisang berbuah dua kali?, akan kah keledai akan terperosok pada lobang yang sama untuk kedua kali?, jawabannya dapat kita lihat langkah nyata yang akan dilakukan oleh pucuk pimpinan negara tercinta ini.

DAFTAR PUSTAKA
Farouk Muhammad. Reformasi Sistem Peradilan Pidana. Aspek Kepolisian. BPHN-UNSRI, Sumatra Selatan.
http://pengelolaan keuangan.wordpress.com
Republika, 9 Desember 2005
Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Undang-undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Makalah Ilmu Tafsir



ILMU TAFSIR AL-QUR’AN

A. Pengertian Tafsir
Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar.
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.
Jadi, Secara umum Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al Qur’an. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, beliau sendiri yang menjelaskan apa maksud dari ayat Al Qur’an, maka hadis Nabi disebut sebagai penjelasan dari al Qur’an. Setelah Nabi wafat, para sahabat berusaha menerangkan maksud al Qur’an bersumber dari pemahaman mereka terhadap keterangan nabi dan dari suasana kebatinan saat itu. Pada masa dimana generasi sahabat sudah tidak ada yang hidup, maka pemahaman al Qur’an dilakukan oleh para ulama, dengan interpretasi. Ketika itulah tafsir tersusun sebagai ilmu.
B. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA
Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari ( bil-isyarah )
 - Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )
1. Tafsir bil-ma’tsur
Adalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.
Mengenai penafsiran Al Qur’an dengan perkataan para Shahabat ketahuilah, bahwasanya Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat.
Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka.
Berkata Imam Hakim Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka) yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.
2. Tafsir bir-ra’yi
Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain.
Seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Pembagian Tafsir bir-ra’yi:
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian: - Tafsir Mahmud
- Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram.
3. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran )
 Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.
C. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
1. Metode Tahlili (Analitik)
Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
2. Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3. Metode Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain
1. Akidah yang benar. Akidah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia mempunyai  akidah yang melenceng, tentu saja ia akan menafsirkan Al-Quran dengan berbagai penyimpangan, yang nantinya merusak pemahaman akan Al-Quran itu sendiri.
2. Bisa menguasai hawa nafsu. Tidak jarang hawa nafsu menjadi pemicu pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya.
3. Menafsirkan lebih dahulu Al-Quran dengan Al-Quran.
4. Menafsirkan Al-Quran dengan Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya.
5.  Menafsirkan Al-Quran dengan pandangan para sahabat jika tidak didapatkan penafsiran dalam Al-Quran dan sunnah.
6. Menafsirkan Al-Quran dengan pandangan tabi’in (apabila tidak menemukan penafsiran dalam Al-Quran, Sunnah maupun dalam panadangan para sahabat)
7. Mempunyai pengetahuan bahasa Arab.
8. Memliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran, seperti qiraat, ushul al-tafsir, asbab nuzul, nasikh mansukh ayat, dsb.
9.  Pemahaman yang cermat.
Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya.
Ilmu Asbabun Nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang Asbabun Nuzul bahkan ada yang menyusunnya secara khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain Ali Ibnu al-Madiny guru Imam al-Bukhari r.a.
Kitab yang terkenal dalam hal ini adalah kitab Asbabun Nuzul karangan al-Wahidy sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab yang lengkap lagi pula sangat bernilai dengan judul Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul.
Oleh karena pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat Al-Qur’an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu Asbabun Nuzul. Sebagai contoh firman Allah SWT:
Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 115).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bolehnya melakukan shalat menghadap ke selain kiblat. Pemahaman seperti ini adalah salah, karena menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya shalat. Dengan ilmu asbabun nuzul dapatlah dipahami secara jelas, dimana ayat di atas turun sehubungan dengan kasus seseorang yang ada dalam perjalanan dan tidak mengetahui kiblat serta arah, karena itu ia boleh berijtihad untuk memilih arah dan selanjutnya ia melakukan shalat. Ke mana saja ia menghadap dalam shalatnya maka shahlah shalatnya. Ia tidak harus mengulangi kembali disaat ia mengetahui arah yang sebenarnya andaikata salah. Dengan demikian maka ayat di atas tidaklah bersifat umum tetapi bersifat khusus bagi seseorang yang tidak mengetahui kiblat dan arah.
Diantara beberapa orang sahabat Rasul bertanya: “Bagaimanakah halnya dengan orang-orang yang berperang di jalan Allah dan telah meninggal sedang mereka biasa meminum khamar padahal khamar tersebut adalah keji?”. Sehubungan dengan itu maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa peminum khamar sebelum diharamkan, Allah memaafkannya. Ia tidak berdosa dan tidak bersalah karena Allah tidak akan memberikan hukuman atas perbuatan seorang hamba sebelum Islam atau sebelum turunnya pengharaman. Karena itu maka ayat tersebut berdasarkan susunannya dapat dipahami secara tegas terhadap haramnya minuman khamar.
Apa arti Asbabun Nuzul
Terkadang ada satu kasus (kejadian). Dari kasus tersebut turun satu atau beberapa ayat yang berhubungan dengan kasus tersebut, itulah yang disebut dengan Asbabun Nuzul. Dari segi lain, kadang-kadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi SAW, dengan maksud minta ketegasan tentang hukum syara’ atau mohon penjelasan secara terperinci tentang urusan agama, oleh karena itu turun beberaa ayat, yang demikian juga disebut Asbabun Nuzul.
Contoh peristiwa yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Khabbab ibnul Arat r.a. ia berkata: “Saya adalah tukang besi, Saya menghutangkan kepada Ash ibnu Wail. Suatu ketika saya datang kepadanya untuk menagih piutangku”. Ia menjawab: “Saya tidak akan membayar hutangku kepadamu sebelum engkau mengkufurkan Muhammad dan beralih menyembah Lata dan Uzza“. Saya menjawab: “Aku tidak akan mengkufurkannya sehingga engkau dimatikan Allah dan dibangkitkan kembali”. Jawab Ash Ibnu Wail: “Kalau begitu kelak aku akan mati dan dibangkitkan kembali?”. “Tunggu dulu, hari ini juga akan kudatangkan harta dan anak untuk membayar hutang kepadamu”. Karena kasus ini Allah menurunkan ayat:
Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat kami dan dia mengatakan pasti aku akan diberi harta dan anak. Adakah ia melihat yang ghaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah?. Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan dan benar-benar Kami akan memperpanjang adzab untuknya dan kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu, dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (QS. Maryam: 77-80).
Al-Qur’an turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Oleh karena itu, para ulama rahimahumullaahu membagi Al-Qur’an menjadi dua:
1. Al-Makiyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum hijrah ke Madinah.
2. Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah ke Madinah.
3), termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’ di Arafah.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yaitu saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di Arafah pada hari Jum’at.
Perbedaan Surat Makiyah dan Madaniyah dari Sisi Konteks Kalimat dan Tema
 • Perbedaan dari segi konteks kalimat:
- Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar.
Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!
Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur!
Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).
 • Perbedaan dari segi tema:
Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu.
Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
Beberapa Faedah Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
- Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
- Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
- Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
- Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Telah jelas dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1. Pengokohan hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا‎ ‎لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ‏‎ ‎الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً‏‎ ‎كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ‏‎ ‎فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ‏‎ ‎تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ‏‎ ‎بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ‏‎ ‎بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا

Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33)
2. Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap.
3. Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam ayat-ayat Ifk dan Li’an.
4. Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka
1.Kata nasakh ndiambilkan dari bahasa arab yang berarti menghapus/mengganti sedangkan menurut istilah mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian. Menurut imam Syafi’i, nasakh bukan berarti membatalkan suatu nash, akan tetapi masa berlakunya hukum yang terkandung dalam nash tersebut sudah habis.
2.Kata Mansukh juga diambilkan dari bahasa arab yang berarti diganti/ maksud disini adalah suatu nash yang diganti dengan nash yang turun kemudian.
3.Al-Quran adalah kalamullah yang mengandung mu’jizat yang diturunkan kepada nabi terakhir yaitu Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril AS yang tercatat di dalam mushhaf yang ndinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya sebagai ibadah, dengan berbahasa arab serta dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
4.Waktu periode tasyri’ artinya bahwa metode nasakh dan mansukh muncul ketika masa pensyariatan. Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu “ayat” dan “ahkam”, ayaat adalah bentuk jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti tanda. Kata ayat kadang juga diartikan dengan pengajaran, urusan yang mengherankan dan sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud “ayat” dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yaitu bagian tertentu dari Al-Qur’an yang tersusun atas satu atau beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan) sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam sebuah surat.[2] 
Sementara istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk jamaknya adalah al-ahkam. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu (itsbat asy-syai ‘ala syai), atau bisa juga diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adapaun hukum yang dipahami oleh ahli ushul fiqh adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا
Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum mengganti kalimat خطاب الله تعالى (tuntutan Allah ta’ala) dalam definisi di atas dengan خطاب الشرع (tuntutan syar’i), dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama.
Menurut ulama fiqh, hukm adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh). Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah.
Dari pengertian mengenai ayat-ayat hukum sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ayat hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu). Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah-masalah hukum. 
Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat hukum) adalah tafsir Al-Qur’an yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat hukum.[3] Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai ciri khas dari tafsir ahkam dengan metode tafsir lainnya.  
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain[4]. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer[5].
Bila tidak dipahami dengan cermat, definisi di atas, akan menyesatkan banyak orang sebab akan terkesan bahwa Al Qur`an harus mengikuti perkembangan zaman, sebuah statemen yang tidak bolleh diucapkan oleh siapapun. Secara terperinci maksud dari tafsir modern adalah; merekonstruksi kembali produ-produk tafsir klasik yang sudah tidak memiliki relevansi dengan situasi modern[6].

KEMUNCULAN TAFSIR MODERN KONTEMPORER
Abad ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu.[7]
Kajian tentang Al Qur`an dalam khazanah intelektual  Islam memang tidak pernah mandeg. Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali kajian sebelumnya, yang di anggap out date [8]. Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi  dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting[9]. Shah waliyullah ( 1701-1762 ) seorang  pembaharu islam dari Delhi, merupakan  orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “MODERN” , dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits  fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran mosern. Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa , maka di Mesir, munculah tafsir Mohammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain.
Di belahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya[10]. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull ( w. 1978 ), Hasan Hanafi ( wafat .  Bita Shathi ( w. 2000 ), Nasr Abu Zayd ( lahir. 1942 ), Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman[11]
CORAK MODERN KONTEMPORER
Survei yang dilakukan Jansen terhadap corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Adabi Ijtima`i[12]
Tafsir `lmi
Setiap muslim mempercayai bahwa al qur`an mampu mengantisipasi pengetahuan modern. Al Gazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti terjadi. Mengingat al qur`an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak terlupakan di dalamnya “ tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ( Qs. Al An`am (6) : 38 ).[13]”
Pokok pemikiran tafsir Ilmi bisa dilacak pada tokoh semisal Mohammad Abduh, Al Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id Huwa, Dan lain-lain. Bahkan secara vocal Abduh mengisyaratkan bahwa penemuan Telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah tercantum dalam al qur`an.
1.   Madrasah tafsir filologi
Amin AL Khulli telah berjasa dalam memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistrematis, ada tiga kerangka yang ia lakukan; Pertama, seoraong mufassir harus mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa. Kedua, mempelajari setiap makna kata dlam al qur`an yang tidak htanya menggunakan kamus saja, tetap yang juga dengan kata-kata al qur`an sendiri yang memiliki akar kata serupa. Ketiga, analis terhadap bagaimana al qur`an mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat. Akan tetapi Amin al Khulli tidak mencoba sendiri menerapkan pemikirannya itu kedalam bentuk penafsiran al qur`an. Istrinyalah, yakni Bint Syathi, yang merealisasikan gagasn-gagasannya dalam bentuk penafsiran . Asy Syathi membuktikan dirinya sebagai mufassir yang kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya yang berjudul tafsir al Bayan.
2.   Madrasah adabi ijtima`i
Tafsir adabbi ijtima`i muncul untuk “ menggugat capaian-capaian tafsir klasik yang dianggap kurang mengakar pada persoalan-persoalan masyarakat. Oleh karena itu, diskursus-diskursus yang mencuat dari madrasah ini adalah kritikan tajam terhadap tafsir tafsir klasik. Bagi para mufassir madrasah ini, alqur` an baru dapat dikatakan sebagai hudan li an-nas bila telah dirasakan menjadi problem solver bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bentuk –bentuk penafsiran yang sifatnya tidak membumi tentu saja tidak mendapat tempat pada madrasah ini,. Pokok-pokok pemikiran di atas terliahat jelas pada pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al Maraghi, dan Sayyid Quthb.
Abduh menolak tradisi penafsiran klasik yang menggunakan Israiliyat ( legenda-legenda Yahudi dan Nasrani ) untuk menfsirkan al qur`an, yang dianggapnya mengda-ngada dan mendistorsi tujuan Al Qur`an, yang sebenarnya. Apa yang tidak dijelaskan sendiri. Menurutnya, mengandung isyarat bahwa itu tidak penting untuk dijelaskan lebih lanjut. Lebih-lebih dengan menggunakan riwayat-riwayat Israiliyyat[14]
METODE MODERN KONTEMPORER
Dalam melakukan penafsiran al qur`an, seorang Mufasssir biasanya merujuk kepada tradisi ulama salaf, namun tidakjarang yang merujuk pada temuan ulama kontemporer.
Adapun tafsir yang mrujuk ulama salaf adalah. (1). Tafsir berdasarkan riwayah, yang biasa disebut al tafsir bi al ma`tsur, (2).. Tafsir yng berdasarkan dirayah, yang dikenal dengan al tafsir bi al ra`y atau bi al ajtihadi, dan (3). Tafsir yang berdasarkan isyarat yang popular dengan nama al tafsir al Isyri[15].
Pada perkembangan dewasa ini, yang merujuk pada temuan ulam kontemporer, yang dianut sebagian pakar al qur`an misalnyaal Farmawi (di Indonesia ) yang dipopulerkan oleh M. Quraish Shihab dalam berbagai tulisanya –adalah pemilahan metode tafsir al qur`an  kepada empat metode (1). Ijmali ( Global ) (2). Tahlili ( Analis ) (3). Muqarin ( Perbandingan ) (4). Maudlu`i ( Tematik ). Metode tafsir bedasarkan riwayah, dirayah, dan Isyra`I, dikategorikan dalam metode klasik, sedangkan empat metode yang berupa Ijmali, Tahlili, Muqarin, dan Maudlu`I, ditambah satu metode lagi, yaitu metode kontekstual ( menafsirkan al qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan  berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya al qur`an ) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.
Adanya pengklasifikasian metode tafsir ini tentunya tidak dimaksudkan untuk mendekonstuksi atas yang favorit dan yang tidak favorit, tapi lebih titunjukan untuk mempermudah penelusuran sejarah metode tersebut, dan untuk melengkapi satu sama lainnya[16].
Koridor Penafsiran Klasik
Seperti yang telah dimaklumi, semenjak wafatnya beliau Nabi e para sahabat dan generasi-generasi berikutnya sangat tertuntut untuk dapat mengapresiasikan dan membiaskan pesan-pesan subtansial alqur'an untuk kemaslahatan kehidupan umat yang serba majmuk dengan mengambil al-qur'an dan hadist sebagai sumber rujukan utamanya. Namun dengan semakin kompleknya kasus-kasus baru dan maksud-maksud al-qur'an yang belum pernah dijelaskan oleh nabi, pada giliran berikutnya mereka melakukan pendekatan dalam memahami al-qur'an melalui kemampuan ijtihad masing-masing. Secara garis besar terdapat dua pola pendekatan yang mereka upayakan, yaitu, tafsir dan ta'wil
Tafsir dari sudut etimologi adalah penyingkapan, penjelasan atau presentasi. Secara terminologinya adalah upaya menguak pesan subtansial, posisi/kedudukan serta nilai-nilai historis yang tersembunyi di balik teks.
Ta'wil adalah pengalihan arti leksikal kata pada kemungkinan makna lain yang masih dalam batas-batas al-qur'an dan sunnah
Perangkat Keilmuan Yang Harus Dimiliki Mufassir
Para ulama' telah memberikan syarat-syarat tertentu bagi orang yang akan menafsirkan al-qur'an dengan Ra'yi agar hasil ijtihad penafsirannya dapat diterima dan dipakai. Adapun syarat-syarat tersebut sebanyak 15 persyaratan, yaitu :
1. Ilmu bahasa, dengan ilmu ini dapat memungkinkan untuk mengetahui pengertian kosa kata kalimat sesuai dengan arti kata dasarnya.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa arab), Karena dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan-perubahan makna sebab perubahan I'rab
3. Ilmu shorof, yang dengannya dapat diketahui bina', shighat dari suatu lafadz, sebab dengan perbedaan keduanya akan berpengaruh pada arti yang dikandungnya
4. Ilmu asal-usul kata, suatu kata benda yang berasal dari dua akar kata yang berbeda, maka artinyapun akan berbeda. Seperti al-masih yang bisa berasal dari akar kata as-siyahah atau al-mashu .
5. Ilmu Ma'ani, adalah ilmu yang memiliki fungsi untuk mengetahui kalimat dari sudut faidah maknanya.
6. Ilmu Bayan, adalah ilmu untuk mengetahui kalimat dari segi jelas atau kesamaran penunjukan jkandungan artinya.
7. Ilmu Badi' , adalah ilmu untuk mengetahui bentuk keindahan kalimat
8. Ilmu Qiro`ah, dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk pengertian yang lebih benar
9. Ushul Fiqh, ilmu ini sebagi perangkat untuk mengetahui cara-cara pengambilan hukum
10. Ushul ad-dîn, dengan ilmu ini mufassir akan mampu menunjukkan dalil-dalil dari sifat-sifat Allah I.
11. Asbâb an-Nuzûl :
Al-Ja’bari, sebagaimana dikutip oleh Al-Suyûthi menyatakan bahwa penurunan wahyu adakalanya tanpa dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, adakalanya pula dilatarbelakagi oleh timbulnya suatu peristiwa atau pertanyaan yang diajukan oleh shahabat. Dalam kaitannya dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, pengetahuan akan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl) memegang peranan penting. Beberapa ayat tidak dapat dipahami maksud sebenarnya tanpa mengetahui asbâb al-nuzûlnya.
Al-Zarqânî memberikan pendefinisian asbâb al-nuzûl sebagai hal-hal yang diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut diturunkan. Maksudnya adalah bahwa asbâb al-nuzûl merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau merupakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kalangan shahabat dan menjadi perhatian khusus Rasulullah.
Dengan mengetahui asbâb al-nuzûl ada beberapa manfaat yang didapatkan. Secara terperinci Al-Suyûthî dan az-Zarqânî menuturkan dalam karyanya masing-masing. Pertama, mengetahui hikmah pensyari’atan suatu hukum. Kedua, membantu pemahaman makna suatu ayat serta menjelaskan isykâl (kejanggalan atau kesulitan makna)nya.
Ayat di atas menegaskan bahwa seseorang tidak wajib menghadap kiblat ketika melakukan shalat, dalam perjalanan maupun tidak. Namun hal ini menyalahi ijma’ . Dengan mengetahui sebab turunnya ayat akan diketahui bahwa ayat tersebut hanya tertentu pada shalat sunnat dalam perjalanan. Atau dalam kasus seseorang yang buta arah sehingga ia menentukan arah kiblat dengan ijtihad (upaya dan kemantapan hati)nya sendiri, dan ternyata pilihannya salah. Maka ia tidak wajib meng-qadlâ’.
Ketiga, menepis persangkaan hashr (ketertentuan pada suatu hal semata).
Al-Syâfi‘î mengatakan bahwa ketika orang-orang kafir menganggap haram apa yang dihalalkan Allah I, menganggap halal apa yang diharamkan Allah I, dan selalu berseberangan dan bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah ayat ini dengan tujuan menentang kehendak mereka. Seakan-akan Allah I berfirman : “Tidak ada keharaman kecuali apa yang kalian halalkan, yakni bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan makanan yang dibuat persembahan kepada selain Allah”. Dengan ayat ini tidaklah dimaksudkan kehalalan dari selain hal-hal yang dituturkan. Karena tujuan ayat ini hanya menetapkan keharaman, bukan menetapkan kehalalan.
Keempat, mentakhshîsh hukum dengan asbâb al-nuzûl ayat, menurut orang-orang yang memiliki pandangan bahwa yang dijadikan standar hukum adalah khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat), bukan ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat). Kelima, Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman hukumnya walaupun ada keterangan yang mentakhshîsh keumuman ayat. Sehingga tatkala sebab turunnya ayat diketahui, maka takhshîsh hanya berlaku pada selain kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat. Karena tercakupnya kasus ketika ayat turun dalam keumuman redaksi lafazh merupakan sesuatu yang qath’i (pasti), dan mengeluarkannya dari cakupan keumuman berdasarkan ijtihad adalah tidak diperbolehkan. Keenam, mengetahui perihal apa dan tentang siapa ayat diturunkan. Ketujuh, secara psikologis, dapat me-mudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi orang yang mendengarkan ayat sekaligus mengetahui latar belakang turunnya. Karena sabab dan hukum terkait dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Sedangkan suatu peristiwa terkait dengan tokoh pelaku, dimensi ruang dan waktunya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor kuatnya ingatan, serta kemudahan mengingatnya saat mengingat kaitan peristiwanya.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan asbâb al-nuzûl, ulama’ ushul fiqh berbeda pandangan mengenai apakah yang dijadikan patokan adalah ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat) atau khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat) ? Kalangan al-Syafi’iyyah memilih pendapat pertama. Mereka berpijak pada sikap para shahabat dan lainnya dalam keumuman redaksi ayat yang turun karena sebab tertentu. Sebagaimana ayat zhihâr yang dilatarbelakangi oleh kasus yang dialami Salmah bin Shakhr, ayat li‘ân yang turun dengan tokoh peristiwa Hilâl bin Umayyah, dan ayat yang menjelaskan sanksi qadzf pada orang-orang yang menuduh Umm al-mu’minin ‘Aisyah ra. Dampak hukum ayat-ayat ini melebar cakupannya pada selain tokoh-tokoh peristiwa turunnya ayat-ayat di atas.
Dalam catatan pinggir Al-Luma‘ dipaparkan bahwa argumentasi yang melandasi pendapat ini adalah sebuah hadits yang mengisahkan bahwa Rasulullah menerapkan suatu ayat sebagai hujjah dalam keumuman redaksinya, kendati ayat tersebut diturunkan dengan sebab dan tujuan tertentu.
Dari riwayat ini, Rasulullah menjadikan khithâb pada ayat di atas tidak sebagaimana konteks dan maksud diturunkannya ayat tersebut. Karenanya, sebagaimana yang menjadi pegangan mayoritas ulama', yang dijadikan patokan utama dalam menyikapi nash-nash Al-Qur'an atau hadits adalah keumuman teks, bukan kekhususan konteksnya
12. Nasikh dan Mansukh
Dalam kaitannya dengan pembahasan Al-Qur’an, permasalahan naskh (penyalinan hukum) tidaklah dapat diabaikan. Karena sebagai sumber hukum primer, Al-Qur’an haruslah menjadi rujukan utama dan pertama dalam penetapan hukum syari’at. Ketika suatu ayat Al-Qur’an disalin atau diganti hukumnya dengan ayat lain, maka keterkaitan ayat yang mansûkh (disalin hukumnya) tersebut dengan perbuatan mukallaf (pengemban beban syari’at) menjadi terputus dan tidak efektif lagi. Karenanya, dalam melakukan istinbâth (penggalian hukum dari nash-nash Al-Qur’an dan al-sunnah), seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat mansûkh berikut dalil yang menyalin (nâsikh)nya
13. Al-Fiqh
14. Ilmu Hadits, yang berguna menjelaskan sesuatu ayat yang mubham dan mujmal
15. Ilmu Mauhibah, yaitu Ilmu dianugerahkan Allah I untuk hambanya yang mengamalkan ilmunya.
Ibnu Abi Dunya berkomentar bahwa lima belas pengetahuan di atas laksana perangkat atau petunjuk bagi mufassir, tanpa penguasaannya ia tidak akan mampu mendapat gelar mufassir yang diakui tapi malah akan masuk dalam golongan mufassir bi ar-ra`yi yang sesat.
Dalam kitab al-Burhan disebutkan "cinta dunia, sifat takabbur, perbuatan bid'ah, dosa, lemahnya iman, mendewakan akalnya, logika yang tak berdasar kesemuanya merupakan hijab (penghalang) dari memahami wahyu Ilahi.